Pemimpin Perguruan Tinggi Minus Roh Pendidik

May 12, 2017 7:06 am Published by admin

Awal mei lalu saya “ditegur” oleh pak dhe yanto (Prof. Suyanto, Ph.D, UNY) karena lebih dari sebulan saya seperti berhenti menulis memutakhirkan blog. Rupanya beliau mengkhawatirkan kesehatan saya sehingga mengirimi resep awet sehat, hehehe…. Sejumlah kolega dan pengunjung ternyata juga menyampaikan pesan yang sama. Ketika di Bekasi kemarin ketemu mas Nanang (Prof. Nanang T Puspito, ITB) yang sedang bertugas pada acara pendidikan anti korupsi, beliau juga menyentil soal blog itu.  Saya menjadi merasa bersalah karena telah menelantarkan blog yang rupanya telah terlanjur menjadi salah satu media komunikasi rekan-rekan akademisi tentang isu-isu seputar pendidikan tinggi.

Sejak dulu saya mengaku “dhedhel (Jawa)” menulis dalam bahasa inggris namun memaksakan diri. Sejumlah kolega menyarankan dan ada yang meminta agar tulisan-tulisan di blog tersebut dipublikasikan dalam dwibahasa. Praktis selama 4 minggu terakhir yang penuh hari libur itu saya terbenam dalam tumpukan persoalan wording, itupun hanya mampu menyelesaikan dua artikel saja, ampun deh.  Saya bersyukur ada senior dan rekan yang berkenan mengingatkan  untuk merawat blog.

Mungkin ada benarnya saran tentang penulisan dwibahasa itu agar tulisan tersebut menjadi khasanah keilmuwan bagi komunitas pendidikan tinggi yang lebih luas, tidak saja di dalam negeri tetapi juga di belahan dunia lainnya. Saya mendengar konon sejumlah tema juga menjadi diskusi hangat di komunitas diaspora, alhamdulillah.

Screenshot_2016-04-26-06-15-18-1

Tugas Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi (Tim Eka) akhirnya terbukti penuh resiko. Pada tulisan sebelumnya berjudul “ Perguruan Tinggi Besar, Siapakah?” saya menyatakan bahwa tugas Tim Eka sungguh penuh resiko karena bersinggungan dengan berbagai macam pelanggaran berat. Para pelanggar itu umumnya punya kawan banyak dengan berbagai posisi dan jabatan. Akhir-akhir ini Tim Eka mulai merasakan sejumlah tekanan melalui pelaporan kepada aparat hukum (AH).

Lawan kemajuan bukanlah ketidakmajuan, melainkan penikmat ketidakmajuan. Sebagai ketua tim saya menyadari sejak awal akan selalu berbenturan dengan mereka yang “terganggu kenyamanannya “ oleh tugas Tim Eka. Setelah visitasi ke suatu perguruan tinggi  pada pertengahan tahun, saya mendengar dari sejumlah dosen perguruan tinggi itu bahwa pimpinan PT tersebut sangat marah dan sesumbar akan melaporkan saya kepada AH. Dari berita yang saya dengar, di dalam sesumbarnya, konon ia menyebut sejumlah pimpinan nasional yang berkedudukan sebagai menteri, ketua partai dan pimpinan AH sebagai koleganya. Kebenaran tentang berita itu hanya Tuhan yang tahu.

Saya mengamati masih ada pimpinan PT yang telah gagal menjadi academic leader dan malah sangat bangga menikmati  jabatan rektor bukan sebagai jabatan pendidik tetapi jabatan politik. Ketika terjadi perbedaan pendapat, pimpinan semacam ini sangat suka melaporkan  kepada AH sejumlah dosen, pegawai dan siapapun yang dianggapnya berseberangan. Mereka tidak memiliki kesanggupan “bertarung” di ranah akademik lantas kemudian mengandalkan otot daripada otak. Mereka jelas bukan tipe pemimpin pendidik yang humanis karena kepemimpinannya cenderung menjatuhkan, sangat jauh dari watak ibu yang asah, asih dan asuh. Menggerakkan kekuatan AH adalah hobinya. Jangankan warganya, kementerian sebagai pembinanya sering menjadi sasaran mata gelapnya.

Hasil kunjungan pertama Tim Eka pada pertengahan tahun  itu sesungguhnya bersifat sangat internal. Kepada Menteri saya mengusulkan agar menugasi PT itu untuk membentuk tim internal sebagai mitra Tim EKA. Saya berpandangan kurang elok jika PT sebesar itu diketahui “borok”nya oleh tim luar, akan lebih sejuk jika yang mengingatkan adalah tim internal. Pada bulan Oktober meluncurlah surat Kementerian tentang permintaan agar PT membentuk tim internal. Jika tim internal bekerja bagus, nampaknya Tim Eka tidak perlu berkunjung untuk yang kedua kali. Ini adalah hipotesis awal saya.

Perhitungan saya meleset, hingga awal tahun berikutnya hasil tim internal tidak kunjung diterima oleh Kementerian. Sebaliknya saya malah menerima telepon dari Kabiro Hukum dan Organisasi bahwa sejumlah staf AH1 mendatangi Kementerian dan menyampaikan pesan bahwa mereka akan memeriksa sebuah Satker di mana dulu saya bertugas. Oh…, inikah janji sesumbar pimpinan PT itu?. Semoga ini suatu kebetulan belaka, bukan hubungan sebab akibat.

Saya bulatkan tekad untuk menghadapi pemeriksaan secara ksatria. Sejumlah teman pengelola program di perguruan tinggi LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) dan pengelola di Dikti mulai diperiksa di akhir tahun itu. Saya mendengar cerita para pengelola di PT yang notabene dosen yang lugu-lugu itu sangat tertekan hingga beberapa di antaranya jatuh sakit dan ada yang pingsan berulangkali.

Saya sangat yakin para kolega pengelola adalah sosok yang penuh integritas menjalankan program, sementara alokasi anggaran dibuat ketat oleh pengelola di Dikti. Kebetulan anggaran utama program tersebut adalah untuk gaji/honor para calon guru yang bertugas di daerah 3T. Dari alumni yang saat ini mencapai lebih dari 15 ribu peserta, saya belum pernah mendengar keluhan peserta tentang gangguan terhadap gaji/honor kecuali beberapa informasi  sedikit keterlambatan tiba penyaluran untuk sejumlah daerah tertentu.

Keberhasilan penugasan calon guru di daerah 3T merupakan kebanggaan kerja saya hingga sekarang. Belum pernah saya merasa menjadi “orang Indonesia” kecuali melalui program yang diluncurkan pertama kali pada tahun 2011 oleh Kemdikbud itu. Jika tertarik tentang asal usul program itu,  saya persilahkan pembaca menikmati tulisan sebelumnya berjudul “ Ibu yang Mencerdaskan”.  Kini sejumlah alumninya tersebar bertugas di daerah 3T dan yang terkenal dengan sebutan guru garis depan (GGD). Ketika di mana-mana berjumpa dengan mereka di sejumlah daerah, hati kami selalu bertautan dan berpelukan erat, kadang air mata mengalir tak terasa.

Rasa hormat dan salut saya alamatkan kepada pimpinan AH1 yang telah menindaklanjuti laporan/aduan yang dimungkinkan berasal dari pimpinan PT tersebut dengan memeriksa para pengelola program secara profesional. Dengan meneliti materi aduan dan mencermati hasil pemeriksaan yang dilakukan, saya berharap institusi ini kelak akan segera menyadari bahwa melalui aduan tersebut sepertinya pelapor hendak mengkriminalisasi  Tim Eka. Pemeriksaan oleh AH1  saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk mengkomunikasikan tugas-tugas Tim Eka kepada institusi ini. Alhamdulillah, saya merasakan keberadaan Tim Eka sudah mulai dikenal oleh masyarakat pendidikan tinggi dan sekitarnya.

Belum selesai urusan dengan AH1, Tim Eka sudah dihadang lagi dengan aduan pencemaran nama baik yang kini kasusnya ditangani oleh AH2. Lagi-lagi sepertinya sesumbar dan janji pimpinan PT  itu ditepati. Di dalam berkas aduan yang saya terima melalui “wa” seorang teman,  tersebutkan nama pelapor/pengadu seorang pengacara yang saya tidak kenal sama sekali. Materi aduan adalah tulisan saya di blog tentang ijazah di suatu perguruan tinggi  yang konon telah menjadi viral di medsos. Saya mendengar sejumlah anggota Tim Eka telah dijadwalkan untuk dimintai keterangan.

Di negeri ini dan di negeri manapun, kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik seorang guru besar dijamin oleh undang-undang. Saya sangat meyakini bahwa tulisan-tulisan di blog tersebut di atas berada pada garis tugas baik sebagai ketua Tim Eka maupun sebagai guru besar. Salah satu tugas Tim Eka adalah mengedukasi masyarakat dan salah satu tugas guru besar itu menulis. Sungguh ironis,  ketika pemerintah tengah memacu para guru besar untuk menulis buku dan karya ilmiah lainnya, di saat yang sama ada insan atau pimpinan akademik yang melaporkan tulisan tersebut kepada AH. Sebagai insan akademik mestinya ia membuat tulisan “sandingan” jika memang kurang setuju dengan tulisan sebelumnya. Di situlah terjadi pergumulan gagasan secara santun dalam ruang budaya akademik untuk menciptakan peradaban yang lebih maju.

Sejumlah tulisan pada blog yang mencantumkan atribut saya sebagai Tim Eka adalah tulisan resmi dalam rangka melaksanakan tugas tim, khususnya tentang tugas mengedukasi masyarakat agar terlindungi dari malapraktek pendidikan. Tentang tugas Tim Eka secara rinci dapat disimak pada tulisan sebelumnya yang berjudul “Perguruan Tinggi Besar, Siapakah?”. Jika mencermati secara teliti alamat blog tersebut, pembaca akan memahami bahwa tulisan-tulisan tersebut diunggah pada laman resmi institusi pendidikan di Indonesia (ac.id) untuk tujuan pendidikan dan tidak dimaksudkan untuk mencemarkan nama baik seseorang. Apalagi pada tulisan yang diadukan tersebut saya tidak menyebut nama dan identitas seseorang secara spesifik, namun herannya mengapa justru ada orang yang sibuk ingin  menampar muka sendiri?

Perguruan tinggi adalah institusi publik, bukan milik perorangan, keluarga atau dinasti. Sepertinya sang pimpinan ini punya anggapan bahwa PT tersebut adalah milik dia, istri, anak, menantu dan keponakan-keponakannya. Menurut kabar burung, puluhan dosen warganya sudah dilaporkan ke Bareskrim karena berani mengkritik kartun tentang dinasti yang sedang dibangunnya. Pada kasus ini saya berharap  aparat penegak hukum dapat memandang persoalan secara jernih dan menjalankan tugasnya secara professional.

Hanya orang tua dungu yang melaporkan kenakalan anak-anaknya kepada polisi. Karena tidak becus mengurus anak, dia tega “mlekotho (jawa)”  polisi yang tugas-tugasnya sudah amat berat dalam rangka mewujudkan ketertiban dan keamanan nasional akhir-akhir ini. Sebagai pemimpin akademik orang semacam ini telah menjelma menjadi problem creator, bukannya problem solver untuk bangsanya.

Sebagai ketua tim yang kebetulan mengetahui penyimpangan PT, saya wajib menyampaikan penyimpangan tersebut kepada masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban akan keterbukaan informasi publik dari petugas Kementerian. Bersama warga negara secara keseluruhan, setiap tahun saya rajin membayar pajak. Hasil pembayaran pajak warga negara menjadi tulang punggung pendapatan negara yang menjadi komponen penting APBN. Mengingat PT dibiayai dari APBN, maka baik sebagai ketua Tim maupun warga negara saya berhak menuntut pertanggungjawaban kualitas pendidikan suatu perguruan tinggi. Jika ada seorang promotor tiap tahun meluluskan ratusan doktor, maka diduga kuat promotor tersebut seperti telah mendekati praktek “ jual beli”  ijazah. Ini jelas tidak sesuai dengan revolusi mental yang merupakan program utama pemerintahan Jokowi-JK, apalagi itu terjadi pada jenjang pendidikan pemuncak, doktor.

Hubungan PT dengan Kementerian induk tak ubahnya hubungan anak dengan orang tua. Jika ada pimpinan PT yang doyan melaporkan Kementerian atau unsur Kementerian kepada AH, maka ia dapat digolongkan sebagai anak durhaka yang kelak akan menanggung akibatnya. Ketika saya masih kecil, ibu sering mengibaratkan anak durhaka itu seperti yang dialami oleh jambu mete atau jambu monyet karena kepalanya berada di bawah badan. Sudah lama saya tidak menjumpai buah itu dan juga tidak tahu ke mana menemukannya?.

Istilah durhaka dipilih karena sejumlah alasan. Pertama, sudah menjadi kodratnya bahwa Kementerian selalu memikirkan dan bekerja untuk menghasilkan yang terbaik buat PT, namun hal sebaliknya belum tentu terjadi. Kedua, banyak yang gagal paham bahwa dana yang dikelola oleh Kementerian itu hakekatnya diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kemajuan PT. Ketika saya masih bertugas di salah satu satker Kementerian, rata-rata 99 % anggaran disalurkan kepada PT melalui kontrak atau realokasi DIPA, sementara hanya sekitar 1 % yang dikelola teman-teman di Dikti untuk kegiatan koordinasi, rapat, monitoring dan membiayai mobilitas tim yang sebagian besar juga berasal dari PT. Jika ada satu PT melaporkan Kementerian kepada AH, maka hakekatnya  ia telah melaporkan dirinya sendiri dan teman-temannya sesama pengelola PT.

Secara pribadi saya tidak mengharapkan adanya pemeriksaan apapun oleh AH, namun sebagai petugas saya mendukung pemeriksaan sebagai bentuk akuntabilitas keuangan dan kinerja para pengelola sesuai tingkatannya masing-masing. Pencermatan secara seksama terhadap program doktor kelas kerjasama menunjukkan bahwa sejatinya ia adalah bentuk kelas jauh yang memiliki potensi pelanggaran akademik dan keuangan yang dahsyat. Dengan mempelajari cara mahasiswa doktor itu membayarkan SPP nya, maka akan segera diketahui potensi penyimpangannya.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya di sejumlah PT, SPP mahasiswa kelas jauh umumnya tidak dibayarkan dan terkirim ke rekening institusi PT induk tetapi mengalir kepada koordinator cabang dan perorangan.  Pola ini terkonfirmasi secara meyakinkan ketika Tim Eka suatu waktu ditugasi berkunjung ke salah satu mitra cabang di pulau lain. Bagaimana mungkin mahasiswa dari PT Y di suatu pulau membayar sebagian SPP ke rekening PT Z di pulau lain?.  Bagaimana mungkin di era sekarang ini ada pengiriman dana antar pulau dalam jumlah besar tidak melalui perbangkan?. Meski tertulis penerimanya adalah si dewicermat, pengiriman dana seperti ini sungguh tidak cermat.

Supriadi Rustad, Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi, Kemenristekdikti, Pelaksana Tugas Rektor Universitas Halu Oleo, Kendari.

Sumber: http://supriadirustad.blog.dinus.ac.id/

Categorised in:

Comments are closed here.

STKW SURABAYA IS THE BEST