CODYANI SAMASTA PERTUNJUKAN DRAMATARI VIRTUAL

April 11, 2023 1:30 pm Published by admin
Leave your thoughts

KURATORIAL

CODYANI SAMASTA

PERTUNJUKAN DRAMATARI VIRTUAL

oleh : Dr. Wahyudiyanto, S.Sn., M.Sn – Dosen Seni Tri STKW Surabaya

 

Prolog

Gagasan sebagai sumber ide penciptaan karya tari terbilang sangat luas. Sebegitu luas sampai pada mimpi-mimpi-pun dapat dijadikan inspirasi kekaryaan tari. Hal ini disebabkan karya tari menyoal nilai-nilai kehidupan manusia. Sal Murgianto pernah menyatakan “gagasan kekaryaan tari menyangkut seluruh isi alam semesta, asalkan dapat ditarikan”. Pernyataan ini mengisaratkan bahwa apapun dapat dijadikan sumber penciptaak karya tari, namun gerak tubuh dan pemaknaannya terdapat keterbatasan, oleh sebab itu perlu disadari oleh para kreator tari adanya kekurangan tersebut.

Dalam sejarah pertunjukan dikabarkan, tari ada semenjak manusia lahir dan menempati bumi ini. Nilai Ilahiyah yang ditanamkan pada manusia menuntun kehidupannya ke arah horisontal dan vertikal. Arah horisontal menyangkut perilaku individu dan sosialnya untuk dapat hidup dan mempertahankan kehidupannya. Individualitas manusia tidak cukup untuk mengatasi penghidupannya sehingga naluri sosialnya bekerja untuk saling berinteraksi, berkomunikasi, dan bekerja sama membangun kehidupannya secara kolektif. Di situlah awal munculnya kelompok- kelompok kehidupan manusia menghuni tempat-tempat tertentu dan hidup dalam kebudayaan tertentu pula, berladang, berburu, beternak, berlaut, dan sebagainya.

Pada masa ketika kehidupan manusia masih terbatas pengetahuannya, kelompok-kelompok manusia sekedar memanfaatkan alam yang sudah ada, manusia tinggal memetik buah, berburu hewan dan ikan dan menghuni tempat-tempat yang dapat digunakan untuk berteduh, beristirahat dan bertempat tinggal dengan aman. Ketika kehidupan dirasa sulit dan semakin sulit, sifat ilahiahnya (vertikal) muncul. Manusia menganggap alam semesta memiliki kekuatan di luar kekuatan diri manusia. Selanjutnya nalurinya bekerja meminta kekuatan alam untuk membantu dalam kehidupannya. Dengan gerakan, bunyi-bunyian, dan dengan coretan-coretan, manusia mulai mempengaruhi kekuatan alam. Dengan gerakan-gerakan itulah tari mulai muncul, kendatipun gerakan-gerakan itu belum disebut tari, tetapi perilaku manusia menarik kekuatan alam bermaksud agar alam menghadirkan kekuatannya untuk membantu kehidupan manusia.

Ketika kebudayaan baca tulis mulai tumbuh, muncul narasi-narasi tentang kehidupan manusia di alam semaesta ini. Ditulis dalam kulit kayu, kulit hewan dan muncuk kebudayaan kertas, kehidupan manusia yang dianggap penting dituliskan di atas kertas. Muncul kemudian tulisan-tulisan yang selanjutnya dikategorikan tulisan fiksi dan non-fiksi dengan jenis bentuk tulisan dan tema yang berlimpah ruah tentang nilai-nilai kemanusiaan. Tulisan dan masih banyak juga tutur lisan yang fiksi dan non-fiksi tersebar di mana-mana, yang selanjutnya dijadikan sumber-sumber literasi yang cerita lisan dan tulisan. Tulisan fiksi selanjutnya berkembang pesat di tempat-tempat di seluruh dunia. Lahir tulisan Ramayana, Mahabarata, siklus panji, Romy and Yuly (Romeo dan Yuliet), Samson, Herkules, dan masih banyak lagi. Yang non-fiksi berupa sejarah dengan berbagai bentuk dan motifnya, hasil-hasil penelitian ilmu, teknologi dan lainnya yang mengungkap kehidupan manusia, benda, dan kehidupan lain di luar kehidupan benda dan manusia.

Literasi Sebagai Sumber Gagasan Penciptaan Tari

Ketika era pada waktu manusia mengambil jarak dengan alam semesta, dan gerak-gerak tubuh manusia dianggap sebagai tari, narasi-narasi yang melimpah tersebut dijadikan sumber ide atau gagasan penciptaan tari. Tak terhitung berapa banyak karya tari yang menggunakan ide gagasan dari narasi-narasi tersebut. Konstruksi karya tari juga beraneka ragam jenis dan bentuknya. Jenis menyangkut warna dan pola budaya gerak yang hidup dari kebiasaan masyarakat penciptanya, dan bentuk menyoal tipe tarinya, apakah bentuk tunggal, duet, trio, kwartet dan kelompok (kecil ataupun besar). Fakta di lapangan dapat di saksikan keragaman dan keberagaman kebudayaan tari.

Tari selanjutnya mamasuki dunia akademik untuk dijadikan subyek dan juga obyek bagi kehidupan manusia. Sebagai subyek tari dibentuk sedemikian rupa untuk mendapatkan kualitas estetik dengan pesona penyajiannya yang mengikat dan menghanyutkan apresiasi penonton. Digarap suasananya, artistikya, pemanggungannya, dan tema yang dapat dipihkan penonton dalam kategori apa yang pantas menyaksikan dan menghayatinya. Kelompok umur, jenis selera, dan kemampuan finansial penontonnya. Sebagai obyek, tari dapat dipergunakan sebagai sarana pendidikan, dakwah, sekedar hiburan, untuk kepentingan propaganda produk perusahaan sampai pada menjual ideologi politik sekalipun.

Di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya, terdapat program studi Seni Tari. Tari dijadikan wahana ketrampilan dan kajian. Sebagai ketrampilan, tari dilatihkan kepada peserta didik untuk dikuasai bentuk, teknik hingga pencapaian estetiknya. Tari dikembangkan terus menerus melalui penciptaan baru tari. Tunggal, pasangan, dan kelompok merupakan ajang kemampuan penciptaan tari bagi peserta didik. Kajian tari difokuskan pada bentuk dan struktur, perkembangan, estetik, makna, simbol, kritik, dan sebagainya. Itu artinya, tari telah mamasuki dunia yang jauh melampaui dirinya sendiri. Tari selanjutnya dikapitalisasi untuk kepentingan pasar. Pasar yang menjual nilai-nilai kemanusiaan untuk pencerahan kehidupan manusia kini dan ke depannya.

Codyani Samasta Sebuah Dramatari

Adalah mahasiswa dari program studi seni tari, menyusun karya tari untuk tugas akhir sebagai syarat kelulusan studinya. Salah satu judul karya yang diujikan berjudul “Codyani Samasta”. Gagasan di ambil dari sastra tutur yang berkembang di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Mengisahkan Jaka Bereg seorang anak pembesar kota Surabaya pada waktu lampau. Untuk mendapatkan pengakuan dari ayahnya[1],Jaka Bereg harus menunjukkan kemapuannya di depan ayah dan rakyatnya. Yaitu menjadikan wilayah Surabaya aman dan nyaman dihuni manusia.

Ketika Jaka Bereg memulai pekerjaan, awalnya aman-aman saja, tidak ada gangguan dari manusia dan makhluk lain. Tetapi semakin masuk ke dalam hutan, Jaka Bereg merasa ada yang mengganggu. Karena merasa punya kekuatan (kesaktian), Jaka Bereg terus membersihkan hutan dari mara bahaya. Namun gangguan semakin terasa, dan Jaka Bereg tidak kuasa melawan gangguan yang mengenai dirinya yang tidak tampak oleh mata. Terjadilah negosiasi antara Jaka Bereg dan makluk dari dunia lain itu Ternnyata yang mengganggu berjenis kelamin perempuan yang beringas tetapi mampu berubah seperti perempuan cantik. Pengganggu menawarkan diri untuk membantu Jaka Bereg dari segala kesulitan dalam membersihkan hutan dengan sarat Jaka Bereg harus mengawininya. Tanpa ada pilihan, Jaka Bereg menerima dan menyanggupi permintaannya.

Koreografi digarap dalam bentuk dramatari. Tersusun dalam tiga babak dan lima adegan. Menggunakan dua tokoh, putra sebagai Jaka Bereg dan putri sebagai Gandawati. Tujuh penari putra sebagai kelompok putra dan tujuh penari putri sebagai kelompok putri. Properti yang digunakan adalah tumbak. Satu tumbak untuk properti Jaka Bereg yang didesain khusus lebih artistik dan mewah, tujuh tombak untuk kelompok putra yang didesain sederhana. Busana tokoh Jaka Bereg dominan warna coklat demikian pula kelompok putra, hanya saja Jaka Bereg sedikit lebih glamour. Busana tokoh Gandawati dominan warna hijau, demikian pula busana kelompok putri, hanya saja busana gandawati sedikit lebih glamour.

Menggunakan pendekatan gerak tari kultur surabaya, diambil dari gerak tari Ngrema Surabayan yang dikembangkan. Pengembangan gerak disesuaikan dengan rasa dan suasana tari. Terdapat rasa sedih, gerak cenderung lambat dan lengkung-lengkung. Terdapat rasa dan suasana semangat, gerak cenderung keras, kuat, keras, dan tempo cepat. Terdapat rasa dan suasana tari yang bergembira, disusun gerak yang iramanya melodis dengan suasana riang. Selebihnya gerak corus untuk menguatkan suasana hati tokoh dengan komposisi ruang tari berkelompok dalam formasi yang bervariasi: di antaranya, diagonal, datar, menyamping, dengan level yang bervariasi pula: rendah, sedang dan tinggi. Pertunjukan diawali tablo (flash back) mengambarkan fokus garapan yaitu pertemuan Jaka Bereg dan Gandawati saat negosiasi dan hati saling bertemu. Berikutnya berjalan sesuai babak dan adegan yang ditentukan. Digunakan musik tari bernuansa kolaboratif gending baru yang berpijak pada gending jula-jula atau Surabayan. Tembang mewarnai garap dramatari sehingga tampak komunikatif karena sair tembang menggambarkan maksud adegan. Pertunjukan tampak rileks tapi serius sehingga dirasakan tidak menjemukan dan pesan dapat diterima dengan cepat. Akhir pertunjukan adalah merasuknya gandawati ke dalam tumbak Jaka Berg.

[1]Jaka Bereg anak dari Jayeng Rana bupat Surabaya pada masa lampau dengan Dewi Sangkrah. Karena terpisah lama disebabkan Dewi Sngkrah hidup di desa dan Jayeng Rana hidup sebagai pemimpin Surabaya. Setelah dewasa Jaka Bereg ingin bertemu ayahnya sekaligus ingin berbakti kepada negara. Untuk membuktikan bahwa Jaka Bereg memiliki kemampuan, Jayeng Rana menguji Jaka Bereg untuk membebaskan dan memerdekakan wilayah Surabaya yang sebagaian besar masih berupa hutan agar bersih dari kejahatan manusia dan makluk lain sehingga Wilayah Surabaya dapat dihuni dan menjadi perkampungan- perkampungan manusia.

Gagasan menggunakan literasi perpaduan fiksi dan non-fiksi tampak tetap menginspirasi koreografer dalam mengangkat kehidupan masyarakat kendatipun dalam kehidupan super modern ini. Naluri alamiah tetap bersemayam dalam alam pikir manusia yang sudah berkembang dari fase ontologi ke dalam kehidupan teknologis fungsional. Hal ini sebagai penanda bahwa cara berfikir kuno (primitif) masih juga hidup dalam genetik manusia rasional. Fakta ini akan terus hidup dalam kehidupan masyarakat apabila dalam sosial masyarakat masih mempercayai bahwa ada kehidupan lain di luar kehidupannya. Trelebih dalam format keagamaan menginformasikan bahwa ada makhluk lain selain makhluk berjenis manusia. Ada anggapan bahwa kita bertetangga, bahkan rumah kita juga dihuni oleh makhluk-makhluk tersebut hanya saja kita tidak dapat meilahtnya. Tidak mustahil memang, ternyata dalam realita banyak orang menyapa mereka dengan cara bermacam-macam. Ada yang nenebar bunga di perempatan jalan, di bawah bohon tertentu, di sungai, di sawah, dan di tempat-tempai lain yang konon dikatakan bertempat makhluk lain yang perlu disapa dan di hormati.

Codyani Samasta, sebuah dramatari menyoal tentang hubungan manusia dengan makhluk lain yang diduga saling memberi manfaat, dan bahkan membantu kehidupan manusia. Kepercayaan seperti ini masih banyak dijumpai dalam kehidupan orang, termasuk dalam kehidupan koreografer. Jawa, dan masyarakatnya relatif masih tumbuh kepercayaan seperti itu. Hal ini dibuktikan dengan semakin berkembang cerita-cerita sejenis dari cerita tutur masuk ke dalam kategori referensi literasi. Buku-buku yang memuat cerita-cerita rakyat terus terbit dari percetakan. Tampak seperti penyeimbang kehidupan dari alam rasional dengan alam yang lebih dirasakan sebagai alam instingtif.  Itulah fakta kehidupan kita.

Categorised in: , , , , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

STKW SURABAYA IS THE BEST