Sekilas tentang sketsa dan ‘sketsa on the spot’
December 29, 2015 2:45 amSketsa, merupakan bentuk karya seni tertua dan yang telah lama dikenal di dunia. Hadirnya sketsa muncul saat manusia purba mulai mengetahui bagaimana membuat sebuah coretan, atau tanda pada dinding gua.
Coretan-coretan di zaman purba sering menggambarkan objek yang berbentuk seperti hewan, manusia, maupun tumbuhan, ada juga yang membentuk suatu simbol yang menjadi cikal bakal bentuk huruf. Konsep purba tersebut yang menjadi cikal bakal konsep ‘Sketsa on the spot’ atau membuat sketsa dengan melihat langsung objek maupun suasana yang ada di sekitar.
Dalam dunia seni, sketsa memiliki 2 fungsi yakni sketsa sebagai bentuk seni dwimatra murni (seperti lukisan, grafis, dll) dan sketsa sebagai bentuk dasar dari sebuah rancangan bangun atau benda. Bagi seorang arsitek, disainer grafis, disainer interior, sketsa memiliki fungsi sebagai rancangan awal. Namun bagi seorang seniman, sketsa merupakan unsur dasar seni murni yang wajib dikuasai dan juga karya seni itu sendiri.
Sketsa rancangan bersifat kaku, cenderung statis, dan minim kesalahan. Sedangkan sketsa murni bersifat luwes, beragam garisnya, dan lebih unik karena yang dapat mewakili karakter pembuatnya. Hal ini dapat terjadi karena sketsa murni lebih menekankan gambaran objek menurut versi dan gerakan dari kuas / lidi, dari sang seniman.
“ Sketsa tak hanya sebagai rancangan dasar sebuah bentuk desain, namun sketsa juga dapat menjadi karya seni murni yang dapat berdiri sendiri ” seperti yang diungkapkan oleh Mufi Mubaroh – Ketua Prodi Seni Murni STKW Surabaya.
Seringnya pembuatan sketsa murni menggunakan lidi atau pena cina, karena dapat pula melatih keluwesan tangan. Di kampus STKW, konsep mata kuliah sketsa yang digunakan adalah sketsa murni. Jadi setiap ada materi mata kuliah sketsa, para mahasiswa wajib terjun di lokasi yang telah ditentukan dan mulai membuat sketsa dari objek-objek atau suasana yang ada di lokasi tersebut.
Ini menarik, karena letak kampus STKW yang berada di kota besar dan menggunakan materi sketsa on the spot di lokasi dalam kota membuat warga sekitar lokasi on the spot bertanya-tanya apa yang sedang mahasiswa lakukan . Beda dengan kota seni Jogja, kegiatan berkesenian di Surabaya tidak sebegitu sering muncul di khalayak umum. Hanya di kalangan-kalangan yang memang menaruh minat utama pada kesenian. Disinilah peran lain mahasiswa dijalankan, memberikan suntikan pengetahuan mengenai seni, dalam hal ini pengetahuan mengenai sketsa.
Sketsa On the Spot lebih menunjukkan spontanitas, dan ekspresi setiap pembuatnya. Ada yang mirip dengan objek sebenarnya, namun tak jarang juga yang menambahkan sentuhan – sentuhan artistik yang jauh dari bentuk aslinya. Beragam, dan berbeda-beda, ciri khas antara satu dengan yang lain. Dalam prakteknya, mungkin teori filsuf Plato yang lebih sering digunakan. Yakni pembuatan karya seni yang meniru objek sesungguhnya. Namun, bukan kemiripan bentuk yang menjadi tujuan utama dari sketsa murni, tapi karakter sang seniman yang ikut masuk dalam goresan sketsanya. Itulah nilai sebenarnya yang terkandung dalam sketsa murni.
Di jurusan Seni Murni STKW, ada 25 lembar sketsa dari sekitar 10 – 12 lokasi (spot) yang berbeda yang harus dikumpulkan setiap mahasiswa. Alat yang digunakan adalah lidi dan tinta hitam (tinta cina) dan teknik yang digunakan pada semester pertama adalah bebas, semester berikutnya dilanjutkan dengan teknik tertentu pada setiap lokasi.
Pada awalnya, para mahasiswa prodi seni murni pasti merasa kebingungan dengan pembuatan sketsa menggunakan lidi. Masih kaku, sangat berhati-hati dalam menggores adalah kesan pertama yang dirasakan mahasiswa baru saat membuat sketsa. Semakin lama, akan semakin banyak jam terbang yang dikumpulkan, keluwesan akan diraih dan bahkan sampai ketagihan lagi dan lagi membuat sketsa. Hingga tak sadar sketsa yang dibuat telah layak untuk dipamerkan di sebuah acara pameran seni rupa murni.
Proses adalah hal terpenting daripada hasil akhir, hal itu juga terjadi dalam penyaluran karakter dan maksud seniman sketsa kedalam sketsa yang mereka buat. Di STKW, untuk mengapresiasi proses latihan yang panjang dan konsisten ini, selalu diadakan sebuah acara pameran Seni Rupa Murni. Mulai dari hasil karya seni yang dasar hingga karya seni murni eksperimental, termasuk sketsa.
Agus ‘Koecink’ Sukamto, seniman sekaligus kurator asal Surabaya menjelaskan bahwa, untuk membuat sketsa yang berkarakter diperlukan pendekatan dan latihan terus-menerus agar tak hanya melihat namun juga dapat merasakan objek yang akan dibuat dan dituangkan ke dalam sketsa. Tak hanya karakter sang seniman, namun juga ada kesan yang hadir dalam sketsa tersebut.
Pengetahuan seni murni tanpa sketsa merupakan seni murni yang kurang lengkap. Berawal dari ‘meniru’ dan menjelma menjadi karya seni murni utuh yang kaya akan nilai. Dari unsur dasar jadi bentuk karya seni itu sendiri. Seniman-seniman sketsa pun telah menjamur di seluruh dunia yang berawal dari on the spot, semoga ke depannya STKW mampu melahirkan seniman sketsa besar, yang khusus menekuni dan berkarya di bidang sketsa. (Rahmawati)
Categorised in: ACARA SENI MURNI
Comments are closed here.