SEMINAR PERGURUAN TINGGI DI SEKOLAH TINGGI KESENIAN WILWATIKTA SURABAYA

April 11, 2023 12:41 pm Published by admin
Leave your thoughts

 

Pada hari Kamis, tepatnya tanggal 25 Oktober 2022 Kampus Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya menyelenggarakan seminar dengan judul “Etnografi dalam penelitian seni” dengan nara sumber Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A Guru Besar Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Seminar bertempat di gedung aula serbaguna dihadiri para mahasiswa dan dosen dari empat program studi (Seni Tari, Seni Karawitan, Seni Teater, dan Seni Rupa Murni). Etnografi merupakan sebuah pendekatan dalam penelitian ilmu humaniora. Ilmu humaniora sebagai ilmu yang mempelajari tentang manusia, kemanusiaannya, dan berkebudayaannya dilihat dari perilaku dan produk budayanya. Seni termasuk dalam ilmu humaniora karena seni merupakan produk manusia dalam budaya dan berkebudayaannya. Dalam penelitian etnografi, Perhatian utama pada the way of life suatu masyarakat. Etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, tetapi juga belajar dari masyarakat. Esensi penelitian etnografi tidak hanya mengambil simpulan dari kebudayaan masyarakat, tetapi juga mengambil hikmah dan pelajaran sosial dari kebudayaan tersebut.

Dalam paparannya, narasumber membedah etnografi dari sisi perkembangan etnografi itu sendiri dan beberapa model penelitian etnografi. Tentang perkembangannya, etnografi mengalami proses berdasarkan kebutuhan perkembangan ilmu. Dimulai dari etnografi klasik (konfensional), etnografi baru, etnografi modern, etnografi kritis, dan etnografi post-kritis. Pada masa awal, Etnografi klasik merupakan Tipe penelitian yang berorientasi “informan oriented” tujuannya untuk mendapatkan gambaran masa lalu masyarakat tersebut. Metode yang digunakan melalui wawancara panjang, berkali-kali, dengan informan kunci yaitu orang-orang tua dalam masyarakat tersebut yang kaya dengan cerita tentang masa lampau, tentang kehidupan yang “nyaman” pada suatu masa dahulu. Orientasi teoretis para peneliti terutama terkait dengan perubahan sosial dan kebudayaan.

Etnografi baru berkembang Pada tahun 1960-an yang bersumber dari aliran baru dalam antropologi yang dikenal dengan istilah cognitive anthropology atau ethnoscience atau etnografi baru. Etnografi baru yang dikembangkan oleh James P. Spradley bertolak dari teori antropologi Ward Goodenough. Pusat perhatian etnografi baru untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan selanjutnya menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan. Bentuk tersebut merupakan susunan yang ada dalam pikiran (mind) anggota masyarakat tersebut dan tugas etnografer yakni mengoreknya keluar dari pikiran mereka. Cara mengorek dan mendeskripsikan pola yang ada dalam pikiran manusia itu bersifat khas, melalui metode folk taxonomy. kebudayaan itu ada dalam pikiran manusia, yang bentuknya adalah organisasi pikiran tentang fenomena material tersebut. Tugas etnografer (peneliti etnografi) adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut.

Etnografi modern menegaskan bahwa 1). data bertumpu pada sudut pandang orang ketiga berdasarkan pengamatan partisipan. Peneliti tidak melibatkan refleksi pribadinya dan berupaya bertindak hanya sebagai peliput; 2). data dipaparkan secara objektif dalam bentuk informasi terukur dan bebas bias, afiliasipolitik, dan penilaian personal; dan 3). pandangan subjek dituangkan dalam kutipan yang diedit tanpa mengubah makna (Malinowski.1966:134–152).

Etnografi krtitis beranggapan bahwa: 1). Periset merasa terpanggil untuk memberikan perhatian terhadap penderitaan dan praktik marginalisasi terhadap kaum marginal atau kelompok subordinat. Bahkan perasaan tanggungjawab etis ini merupakan faktor yang mendorong dan “mengawali penerapan etnografi kritis” (Madison, 2005:5 dalam Kriyanto, 2012: 102); 2). para etnografer kritis akan menelusuri nilai kritis di balik “makna budaya; 3). Etnografer mengawal secara politis budaya yang terpinggirkan atau tereksploitasi; 4). Etnografi kritis memiliki spirit mendalami situasi sosial-budaya yang di dalamnya ada kontestasi kultural dan ada budaya yang termarginalisasi atau tersubordinasi (Budiasa, 2016).

Mengenai etnografi Post-kritis, Ada dua karakter pendekatan etnografi “post-kritis”. kedekatan personal dan jalinan komunitas yang dibangun berdasarkan empati dan simpati.kekuatan data etnografis hasil elaborasi emik dan etik diajukan dalam : a. identifikasi kebutuhan; b. strategi pelaksanaan; c. sistem pengawasan; d. skenario pembangunan keberlanjutan (Humaedi, 2020). Prinsip etnografi ‘Post-Kritis’ berusaha mengangkat perspektif emik kebudayaan lokal di tengah tujuan dan perspektif etik. Ia mengatasi paradoks internal dan eksternal kebudayaan diri atauliyan. Kekuatan empati dan simpati yang bersifat relativisme subjektivitas menjadi ciri atau novelty etnografi “Post-Kritis”. Dalam etnografi post-kritis, tiga aktor bersama merelatif-subjektivitasnya agar semua kepentingan bisa terakomodasi dengan baik. Kepentingan itu mencakup virtue ethic kebudayaan diangkat sebagai bagian kebijakan; nilai, misi, dan tujuan kebijakan dapat diterapkan, dan Peneliti mendorong subjek mendapatkan akses pembangunan dan bahkan ia menjadi mediator dari capaian tujuan kebijakan (Humaedi, 2020).

Etnografi post-kritis tidak semata mengutamakan kelompok subjek, tetapi juga ada kemauan dan kemampuan mempertemukan kepentingan subjek yang memiliki dimensi emik dengan kebijakan yang memiliki dimensi etik. Etnografi post-kritis mendorong peneliti memperjuangkan subjek dengan subjektivitas melalui empati dan simpati, dan membawanya pada celah advokasi dan pemberdayaan virtue ethic yang ada.Tidak berhenti pada dimensi emiknya, analisis mendalam atas hegemoni struktural dan politik dari kebijakan pun dipahami secara mendalam, dan dicari titik lemah ataupun celah yang memungkinkan dimensi emik dapat memasukinya. Peneliti etnografi post-kritis berdiri pada kesadaran bahwa kebijakan sarat dengan dimensi etik serta cara berpikir yang deduktif dan umum sehingga langkah penelitiannya harus berada di garda terdepan untuk memberi masukan perumusan kebijakan, khususnya analisis kebutuhan subjek dan potensi emik pada kebijakan.

Dari pendekatan etnografi dalam penelitian humaniora lahirlah disiplin ilmu sebagai cabang dan bahkan ranting ilmu dalam antropologi, seperti etnosaint, etnomusikologi, etnokoreologi, etnografi Virtual, etnografi Digital dan masih banyak lagi dan mungkin akan terus berkembang etno-etno yang lain sebagai bentuk berkembangnya disiplin ilmu yang diberangkatkan dari penelitian dengan pendekatan etnografi.  Selamat memulai….. (Wahyudiyanto)

 

Categorised in: , , , , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

STKW SURABAYA IS THE BEST