Bukan Dijadikan Dosen Tetap, Dosen Asing yang Diundang Adalah Bagian dari Program World Class Professor (WCP)
May 4, 2018 9:02 amLeave your thoughts
SENIN, 23 APRIL 2018 | 18:07 WIB
“Jadi konteks TKA berbeda dengan kontes WCP. Kalau dosen TKA yang dipersepsikan salah, kita belum punya program tersebut. Sedangkan WCP adalah skema khusus yang kami sediakan bagi dosen kelas dunia, baik asing atau pun dalam negeri dengan tujuan meningkatkan kualitas penelitian melalui jalur kolaborasi” tegas Dirjen Ghufron, Senin (23/4).
Terkait dengan program WCP, Dirjen Ghufron menjelaskan besaran gaji yang sempat ia lontarkan sebelumnya. Dia memaparkan, nilai USD4.000 atau Rp52 juta per bulan yang menjadi polemik itu adalah jumlah maksimum yang bisa diberikan. Menurut Dirjen Ghufron, besaran gaji yang diterima tergantung dari hasil negosiasi perguruan tinggi dengan profesor kelas dunia yang diundang. Berdasarkan program WCP tahun lalu, ada pula profesor yang tidak perlu dibayar. Hal yang perlu diperhatikan pula, lanjut Dirjen Ghufron, dosen kelas dunia yang diundang ke Indonesia tidak akan menjadi dosen tetap, sehingga kehadiran mereka bukan untuk mengancam apalagi menggantikan peran dosen dalam negeri.
“Soal gaji, ini yang perlu dijelaskan. Saya kira ini cukup jelas, bahwa rentang gaji antara Rp0-52 juta sesuai proposal yang diajukan oleh kampus berdasarkan hasil negosiasi mereka dengan dosen yang diundang dan nanti dinilai skornya. Jika mahal dan semua serba minta, maka skor bisa rendah, dan proposal bisa tidak diterima. Hasil laporan dari penyelenggaraan tahun kemarin amat beragam. Tidak semua profesor kelas dunia bersedia dan punya waktu untuk diundang,” sebutnya.
Program WCP sendiri bertujuan untuk memajukan ikilm dan ekosistem riset di perguruan tinggi dalam negeri. Pasalnya, para dosen dapat berkolaborasi dengan profesor kelas dunia untuk menghasilkan temuan-temuan baru. Mengacu pada evaluasi WCP sebelumnya, Mantan Wakil Menteri Kesehatan itu mengatakan, per akhir tahun 2017 sudah lebih dari 13 publikasi internasional yang terbit di jurnal bereputasi, enam publikasi menunggu terbit, dan sisanya sedang dalam tahap perbaikan dan review.
Sedangkan dari evaluasi secara kualitatif, perguruan tinggi penyelenggara program WCP kini memiliki link atau jejaring keilmuan dengan para dosen kelas dunia sehingga proses pengembangan ilmu dapat terkolaborasi yang baik. Kendati banyak manfaat yang bisa didapat dari program WCP, Dirjen Ghufron tidak memaksa setiap perguruan tinggi harus melaksanakan program ini.
“Jadi perlu saya tegaskan ini tidak dimaksudkan secara umum, konteks kami adalah World Class Professor, sebuah program yang mengundang dosen kelas dunia untuk hadir di kampus Indonesia. Hingga saat ini kami sudah banyak menerima ajuan proposal dari berbagai perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri. Tidak semua perguruan tinggi yang mengajukan program mengundang dosen kelas dunia ini kita kabulkan,” tutur Dirjen Ghufron.
Pada kesempatan yang sama, Dirjen Ghufron juga mengungkapkan bahwa mayoritas dosen kelas dunia yang hadir ke Indonesia pada tahun 2017 adalah berasal dari Jepang. Menariknya, sejumlah ilmuwan diaspora Indonesia yang sudah meniti karier akademik di luar negeri juga ikut ambil bagian pada program ini.
“Tahun kemarin terdapat 26 dosen asal Jepang, disusul Amerika, Australia, Malaysia dan Prancis. Sedangkan dari RRC hanya dua orang, sama jumlahnya dengan yang dari Arab Saudi. Saya juga mengapresiasi para ilmuwan diaspora kita yang sangat antusias pada program ini, seperti Saudara Hadi Susanto dan Saudara Oki Muraza, ada beberapa lagi, serta nama perempuan Indonesia tetapi tidak hafal semua namanya,” jelas Dirjen Ghufron yang juga menyebutkan nama-nama tersebut rutin hadir bersumbangsih di acara Diaspora yang digagasnya.
Terlepas dari polemik dosen asing di kalangan masyarakat, pria kelahiran 17 Mei 1962 itu menyebutkan bahwa di era globalisasi ini tantangan pendidikan tinggi semakin berat. Selain terkait peningkatan kualitas, pendidikan tinggi juga harus beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan keinginan masa depan. Oleh sebab itu, imbuh Dirjen Ghufron, program WCP perlu dimanfaatkan secara baik dan pelaksanaannya dilakukan secara bijak supaya memperoleh hasil yang maksimal.
“Dalam dunia akademik saya rasa wajar bila kita berkolaborasi dengan sesama akademik di luar negeri. Banyak sekali dosen kita yang diminta mengajar dan meneliti di berbagai kampus luar negeri, saya pun memiliki pengalaman serupa, seperti mengajar, meneliti, dan menguji di berbagai kampus kelas dunia. Rencananya akhir April ini, saya juga diminta memberikan kuliah umum di Harvard University. Bagi saya, ini apresiasi bagi dunia akademik untuk Indonesia,” ujarnya.
Selain mendorong kolaborasi dengan dosen kelas dunia, Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti pun memiliki berbagai program dan terobosan yang ditawarkan untuk memacu peningkatan kualifikasi serta kompetensi dosen Indonesia. Beberapa di antaranya, yakni beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU), beasiswa afirmasi perguruan tinggi negeri baru (PTNB), pembangunan sarana prasarana, bridging program dengan kampus luar negeri dan masih banyak lagi.
“Kita tetap memiliki semangat nasionalisme dan pemberdayaan putra-putri terbaik Indonesia. Buktinya kami sediakan beasiswa peningkatan kualifikasi dosen, baik di dalam maupun di luar negeri, kami sediakan beasiswa hingga S-3 bagi lulusan S-1 terbaik dengan skema PMDSU. Belum lagi berbagai skema short course, dan sandwich program yang mengirim mereka ke luar negeri untuk mendapat ekspos dan pengalaman akademik di luar negeri. Banyak sekali yang kami sediakan untuk dosen-dosen di dalam negeri,” tegas Dirjen Ghufron. (ira)
sumber: kopertis 12
Categorised in: BERITA