Publikasi Internasional Indonesia Lampaui Thailand, Dirjen Ghufron Apresiasi Dosen dan Peneliti
August 8, 2017 6:50 amSenin, 7 Agustus 2017 | 12:17 WIB
Sempat menuai pro dan kontra di kalangan akademisi, Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 nyatanya berpengaruh pada peningkatan jumlah publikasi internasional Tanah Air. Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti, Ali Ghufron Mukti menjelaskan, di akhir 2016, Kemristekdikti menargetkan publikasi Indonesia yang terindeks global sebanyak 6.500 publikasi. Namun, hasilnya justru melampaui target mencapai 10.000 jurnal. Ghufron pun mengapresiasi kerja keras para dosen dan peneliti yang telah produktif menghasilkan publikasi-publikasi tersebut.
“Pertengahan 2017 ini, sudah lebih dari 12.000 publikasi. Posisi Filipina dan Thailand sudah tersalip, bahkan menurut Scopus Indonesia tercatat pada ranking ketiga di antara negara-negara di Asia Tenggara. Jadi sebentar lagi saya berharap dan optimis jika Indonesia bisa menyamakan jumlah publikasi Singapura dan Malaysia,” ujarnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Yogyakarta, Jumat (5/8).
Berdasarkan data per 31 Juli 2017, publikasi Indonesia di Scopus tercatat 9.349 publikasi. Sedangkan Thailand di angka 8.204 publikasi. Dua negara di atas Indonesia, yaitu Singapura dan Malaysia masing-masing telah menerbitkan 10.977 publikasi dan 15.985 publikasi.
Ghufron mengakui bahwa kesadaran menulis para dosen dan peneliti masih perlu dibarengi dengan pressure, yakni melalui Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017. Di sisi lain, hingga saat ini kebijakan tersebut tidak mengurangi tunjangan dosen. Sebaliknya, produktivitas dosen dan profesor di Indonesia terus meningkat setiap tahun.
“Dulu kalau ada tawaran untuk melakukan sebuah penelitian, yang tertarik membuat proposal itu kurang dari 10 dosen. Sekarang semuanya berlomba-lomba untuk mendapatkan dana penelitian. Saya sangat senang, artinya semua ingin meneliti. Karena di Indonesia ini terlalu banyak potensinya, sehingga perlu terus digali,” sebut Ghufron.
Peningkatan publikasi internasional, lanjut Ghufron, memiliki sejumlah tujuan. Dosen diharapkan dapat memahami fungsi tugas pokoknya dengan mentransformasikan ilmu dan teknologi, serta mengembangkannya.
“Mereka akan menyosialisasikan dan memasyarakatkan keilmuan agar ilmu dan inovasi bisa diterapkan. Inovasi sendiri artinya lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah dari yang sebelumnya. Semakin banyak inovasi, semakin sejahtera pula masyarakatnya,” imbuhnya.
Salah satu contoh inovasi yang harus disebarkan kepada masyarakat luas, yaitu beras Sidenuk yang direkayasa dengan memanfaatkan tenaga nuklir. Selama ini, nuklir selalu dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya, ternyata dapat menghasilkan beras yang lebih pulen dan enak.
“Sayangnya, belum banyak masyarakat yang tahu akan hal tersebut,” ujar Ghufron.
Mantan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) itu percaya bahwa masih banyak potensi dan inovasi yang bisa dikembangkan lagi. Ke depannya, Ghufron mendorong agar dosen dan peneliti semakin gencar dalam melakukan riset dan mempublikasikannya.
“Jadi, tidak hanya sekadar menjadi konsultan dan mengajar saja. Harus meneliti dan menulis juga,” simpulnya. (syifa)
sumber: sumberdaya.ristekdikti.go.id
Categorised in: BERITA
Comments are closed here.