Kami percaya bahwa setiap nada adalah sebuah cerita, dan setiap karya adalah sebuah jurnal. Malam itu, kami menjadi saksi dari jurnal musikal seorang mahasiswa bernama Zulfikri Eka Yahya, yang berani mencatat pertemuan dua dunia: kebebasan improvisasi jazz dan keagungan Gending Banyuwangi. Karyanya yang berjudul “JAZZ USING” bukanlah sekadar kolaborasi. Ini adalah sebuah perjalanan eksplorasi. Zulfikri, dengan saxophone di tangannya, berkelana melintasi melodi-melodi etnik Banyuwangi yang sudah mengakar, kemudian ia mengajak suara-suara itu untuk berinteraksi dengan ritme jazz yang lincah. Hasilnya adalah sebuah harmoni yang tak terduga, namun terasa begitu akrab di telinga. Seperti sebuah percakapan yang mendalam, saxophone Zulfikri berdialog dengan ricikan gamelan. Kadang ia menjawab dengan nada yang lembut, kadang ia menyahut dengan improvisasi yang penuh semangat. Ini adalah bukti bahwa kekayaan budaya tidak perlu takut untuk bertemu dengan hal-hal baru. Justru, pertemuan itulah yang melahirkan identitas baru yang lebih kuat dan berkarakter. Malam itu, audiens tidak hanya mendengarkan musik. Mereka mendengarkan sebuah sejarah baru sedang ditulis. Mereka menjadi saksi bagaimana seorang seniman muda, dengan keberanian dan dedikasinya, mampu merajut benang-benang tradisi dan inovasi menjadi sebuah permadani suara yang memukau. “JAZZ USING” bukan hanya karya, tetapi sebuah undangan untuk merayakan dialog budaya yang tak pernah usai.
Pernahkah Anda mendengar ritme yang begitu kuat, begitu menggebu, hingga getarannya terasa di dada? Malam itu, getaran itu bukan berasal dari arak-arakan di jalanan, melainkan dari panggung megah STKW Surabaya. Getaran itu bernama “JHEGGER JHEGGUR”. Ini adalah sebuah kisah tentang keberanian. Kisah seorang mahasiswa bernama Maulana Hasbi Assiddiqi, yang bermimpi untuk mengangkat musik Ul-Daul—yang selama ini identik dengan semangat festival jalanan—menjadi sebuah karya seni yang dapat dinikmati di atas panggung. Dengan sepenuh hati, Maulana merangkai kembali notasi-notasi itu. Ia memadukan energi membara dari tabuhan gendang dengan sentuhan-sentuhan tak terduga: alunan syahdu dari kenong tello hingga harmoni vokal yang memikat. “JHEGGER JHEGGUR”. adalah sebuah perjalanan yang akan menggetarkan jiwa. Penonton tidak hanya disuguhkan tontonan. Mereka diajak ikut berarak dalam imajinasi, merasakan gema tradisi yang berpadu dengan inovasi. Setiap pukulan, setiap alunan, adalah sebuah dialog yang intim antara masa lalu dan masa kini, yang diwujudkan dengan penuh keindahan di bawah sorotan lampu panggung. Kami percaya bahwa tradisi bukanlah sekadar warisan yang harus dijaga, melainkan sumber inspirasi abadi yang harus terus hidup, berinovasi, dan berdialog dengan zaman. Kami bangga menjadi tempat di mana seniman muda seperti Maulana berani bermimpi, dan mewujudkan mimpi itu menjadi sebuah pengalaman yang menyentuh hati banyak orang.
Di balik gemerlap panggung , ada sebuah karya yang lahir dari ketulusan dan semangat tak kenal lelah, atau yang sering kami sebut “Gigih”. Gigih Permadi, seorang mahasiswa di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya, tidak hanya menciptakan musik, ia merangkai sebuah perjalanan. Perjalanan yang ia tuangkan dalam karya Tugas Akhirnya, “Ronce-nan Jineman”. Ronce memiliki makna merangkai atau menganyam. Dalam karyanya, Gigih tidak sekadar memadukan notasi, ia merangkai kembali benang-benang tradisi yang berakar pada Gending Jineman. Ia memberikan napas baru pada ricikan gamelan seperti gender barung, gambang, slenthem, hingga gong, menjadikannya sebuah harmoni yang menawan dan penuh makna. Semangat untuk tidak hanya melestarikan, tetapi juga menghidupkan kembali warisan budaya dengan sentuhan inovatif. “Ronce-nan Jineman” adalah bukti nyata bagaimana seorang seniman muda dapat menjadi jembatan antara masa lalu yang agung dan masa depan yang penuh harapan. Setiap nada yang dimainkan adalah representasi dari perjuangan dan dedikasi, bukan hanya dari Gigih, tapi juga dari seluruh tim yang terlibat. Mereka menunjukkan bahwa seni bukan hanya tentang bakat, tetapi juga tentang kolaborasi, semangat, dan identitas. Melalui “Ronce-nan Jineman”, kita diingatkan bahwa kekayaan budaya kita adalah sebuah permata yang harus terus diasah dan dirangkai ulang oleh generasi penerus. Di panggung karya ini bersinar, membuktikan bahwa kreativitas yang berakar kuat pada tradisi akan selalu mampu menyentuh hati dan menginspirasi banyak orang.
Di balik setiap denting nada, selalu ada cerita. Di balik setiap hentakan byung gamelan, selalu ada hati yang bergetar. Athallah Oktifanzha, mahasiswa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya, menuangkan seluruh rasa, kenangan, dan cinta kepada sosok Ibu dalam karya Tugas Akhirnya yang berjudul “Rapsodi Byung“. Bukan sekadar pertunjukan, ini adalah perjalanan jiwa — dari rahim budaya hingga gemuruh panggung. “Byung“ adalah suara pukulan gamelan yang singkat, namun sarat makna. Di tangan Athallah, suara itu menjelma menjadi harmoni yang memadukan gamelan tradisi, orkestra modern, teater bayangan, dan visual artistik yang memikat mata. Penonton diajak menyelami kisah kasih sayang Ibu, perjuangan hidup, hingga pesan moral yang mengakar dari leluhur. Di atas panggung , semua elemen menyatu: cahaya yang menari, bayangan yang bercerita, musik yang mengalun, dan hati yang terikat oleh budaya. Di sanalah terlihat bagaimana STKW bukan sekadar kampus seni, tetapi rumah bagi lahirnya karya-karya yang beridentitas, membanggakan, dan relevan di tengah zaman. “Rapsodi Byung“ adalah pengingat bahwa kreativitas yang tumbuh dari akar budaya akan selalu hidup, selalu berbicara, dan selalu menyentuh hati — dari generasi ke generasi.
Surabaya, 26–27 Juli 2025 — Gedung Kesenian Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, menjadi saksi dua malam penuh kreativitas dan karya gemilang dari mahasiswa Program Studi Seni Karawitan dan Program Studi Seni Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Acara Ujian Tugas Akhir yang berlangsung dua malam ini mengusung dua tema besar: 🎵 Future Youth Performance (26 Juli 2025) – Menampilkan karya-karya musik inovatif, memadukan kekuatan tradisi dan sentuhan modern seperti: Rhapsodi Byung – Atallah Oktifanzha Ronce Nan Jinèman – Gigih Permadi Jazz Using – Zulfikri Eka Yahya Jhegger-Jheggur – Maulana Hasbi Assidiqi Ali 💃 Stage of The Emerging Performers (STEP) (27 Juli 2025) – Menyuguhkan karya tari penuh karakter dan ekspresi dari mahasiswa Prodi Seni Tari dengan judul Tugas Akhir: Marcella – Pratigha Dharmapatni Wahyu – Nunjang Palang Arinda – Njaran Arif – Mithulung Alfen – Ketan Intip Setiap karya tidak hanya menampilkan keterampilan teknis, tetapi juga kekuatan riset, penghayatan, dan interpretasi nilai budaya. Dari pengolahan gerak hingga detail kostum, setiap penampilan dirancang untuk memberikan pengalaman seni yang mendalam kepada penonton. Tak hanya menjadi ujian akademik, Ujian Tugas Akhir ini adalah perayaan kreativitas, di mana mahasiswa menunjukkan bahwa proses belajar di STKW Surabaya tidak hanya fokus pada teori, tetapi juga mendorong mahasiswa untuk berani berkarya, berinovasi, dan tampil di panggung profesional. ✨ STKW: Tempat Tumbuhnya Seniman BerkualitasMelalui kegiatan seperti ini, STKW Surabaya membuktikan diri sebagai kampus seni yang konsisten melahirkan generasi baru seniman musik dan tari. Mahasiswa dibimbing oleh dosen berpengalaman, mendapatkan kesempatan tampil di panggung bergengsi, dan membangun jejaring dengan pelaku seni di tingkat lokal, nasional, hingga internasional. 📣 Pesan untuk Calon Mahasiswa Baru:Jika Anda memiliki passion di bidang Seni Karawitan atau Seni Tari, STKW Surabaya adalah tempat yang tepat untuk mengasah bakat, menambah wawasan, dan menyiapkan diri menjadi seniman yang berdaya saing. Di sini, panggung Anda bukan hanya ruang kelas, tapi juga ruang-ruang pertunjukan yang sesungguhnya.
??Saksikanlah?ujian?pembawaan ?jurusan karawitan?STK Wilwatikta Surabaya pada hari: Rabu-kamis, 28-29 Desember 2016 pukul: 19.00 WIB bertempat di Pendopo Agung Kampus STK Wilwatikta Surabaya. Peserta ujian pembawaan : 1.Adelin mustika A(Gd.Sekar cinde) 2.Moch.Maskur(Tari.Gondrang) 3.Antoni farezi(Tari.remo putra) 4.Wahyu guntur SD(Tari.gunung sari) 5.Aryo guno(Gd.Rarari) 6.Dwi satriya NN(Gd.Rarari) 7.Karvian vega A(Tari.sekar taji) 8.Eko putra pribadi(Gd.dudo bingung) 9.Ruly dyan firmasyah(Gd.Talang) 10.Bintari mulyaning A(Tari.remo putra) 11.Ariska yunita sari(Ars.Grajagan) 12.Septian adi wardana(Gd.Talang) 13.Itha elya S(Ars.umbul2 blambangan) 14.Bastomy Abipraya(Tari Jaran Goyang) 15.Yusuf setiyawan(Gd.Lambang) 16.Randi(Gd.dudo bingung) 17.Nodia indra saputra(Tari.topeng patih) GRATIS ???? salam budaya, Matur Nuwun.
Elevasi Akademik Mahasiswa Karawitan Oleh : Yatimin Mahasiswa Jurusan Karawitan Jurusan karawitan menunjukkan indikasi serius untuk meningkatkan kemampuan akademik para mahasiswanya. Hal itu tampak dari beragam kegiatan yang diselenggarakan dengan mengundang para praktisi serta ilmuan dan bahkan diantaranya berlabel prof. Artinya kegiatan yang diselenggarakan menunjukkan aras tinggi. Kegiatan pertama, yaitu pengenalan disiplinEtnomusikologi, yaitu sebuah disiplin hasil kombinasi disiplin Antropologi dengan Musikologi. Acara itudiselenggarakan pada 30 Oktober 2015 dengan mengusung tema “Nusantara dalam Asia, sebuah Tinjauan Etnomusikologi”. Sebagai pemaparnya, yaitu Hariyanto Ketua Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta.Di dalam kegiatan itu, mahasiswa diberikan wawasan tentang perkembangan musik etnik Indonesiabeserta pengaruhnya bagi musik di Asia. Pembahasan lainnya yang turut dipaparkan adalah kontribusi etnomusikologi bagi eksistensi musik etnik. Kontribusi disiplin itu secara nyata ialah melalui kegiatan penelitian, pendokumentasian sampai diseminasi musik itu ke berbagai tempat. Upaya peningkatan di bidang akademik oleh jurusan Karawitan diperluas dengan menghadirkan ilmuan lainnya, yaitu Profesor Pande Made Sukerta, M.Si, guru besar komposisi musik Institut Seni Indonesia Surakarta pada 23 November 2015. Kegiatan itu mengusung tema “Seputar Penciptaan Musik Nusantara”. Profesor asal Bali tersebut, diminta untuk mengejawantahkan kiat-kiat menciptakan komposisi musik yang benar bagi mahasiswa Jurusan Karawitan Surakarta. Profesor Pande pun tak sungkan untuk berbagai pengalamannya dalam mengkomposisi sebuah musik. Paparan-paparan yang disampaikan begitu lugas, terstruktur dan konkret. Salah satu tips komposisi musik yang ia bagikan kepada para mahasiswa Karawitan adalah “Jangan pikirkan bentuknya, tapi wujudkan isinya lebih dahulu, nanti bentuk akan terbangun dengan sendirinya” begitu tuturnya. Mahasiswa cukup antusias mengikuti acara tersebut. Antusiasme itu mereka wujudkan dengan meluncurkan pertanyaan deras kepada si profesor. Ada yang bertanya tentang bagaimana merancang karya musik yang baik?Adapula yang bertanya cara untuk menyeleksi pendukung karya? Dan lain sebagainya. Meskipun banyak yang bertanya, namun sayang tidak satupun mengcopy materi slide presentasi yang ditayangkan profesor untuk dipelajari lebih lanjut. Kegiatan terakhir adalah workshop Jurnalistik oleh Aris Setiawan, etnomusikolog asal Surabaya pada 28 November 2015. Nama Aris Setiawan banyak dijumpai dalam coretan opini di koran tenama, seperti Jawa Pos, Kompas, Tempo, Media Indonesia, Solo Pos, bahkan koran internasional Jakarta Post. Ia merupakan kolumnis yang menulis tentang musik etnik Indonesia dari beragam perspektif baik politik, sosial, budaya, maupun informasi teknologi. Pada kegiatan itu Aris Setiawan memaparkan pengalamannya dalam mengisi banyak kolom di media massa. Ia juga berbagi tips menulis supaya disukai oleh redaksi media massa dan muaranya dapat diterbitkan. Tidak hanya itu, Aris Setiawan juga menuturkan bahwa “menulis merupakan suatu profesi yang menghasilkan banyak profit. Menariknya profesi sebagai penulis masih jarang dilirik”. Kegiatan peningkatan akademik lainnya masih diujikan dan akan digulirkan tahun depan. Tentu aneka kegiatan yang akan diselenggarkan tahun depan sama menariknya dengan kegiatan yang sudah diselenggarakan. Seharusnya aneka kegiatan yang sudah diselenggarakan akan meningkatkan kemampuan mahasiswa Jurusan karawitan dalam bidang wawasan, ilmu artistik, dan teknik penulisan. Atau justru mereka akan mengalami kemunduran karena tak pernah ada upaya mengimplementasikan ilmu yang telah mereka dapat? Siapa yang tahu?
Mengusung perpaduan musik Pentatonis dan Diatonis Bicara soal musik merupakan hal yang sudah mainstream ditelinga kita bahkan telah menjadi bagian dari hidup. Musik berada dimana saja dan dinikmati seluruh lapisan masyarakat. Berbagai jenis musik berkembang pesat di dunia. Setiap Negara maupun daerah memiliki jenis musik yang berbeda-beda, seakan begitu erat dengan kebudayaannya. Jenis musik sangat begitu banyak untuk diperbincangkan dengan berbagai warna, musik popular diantaranya sering kita dengar musik bergenre pop, rock, jazz, blues, hardcore, funk dan sebagainya. Semua jenis musik tersebut tentu memiliki penikmat masing-masing. Musik popular masih jadi bagian yang paling disegani dilingkungan masyarakat masa kini dengan semakin berkembangnya zaman dan banyaknya wadah untuk musik genre ini. Sedangkan musik yang begitu kental dengan budaya di daerahnya merupakan musik tradisional. Setiap orang tentunya memiliki selera masing-masing dalam soal musik. Hanya saja realitasnya penikmat musik tradisi dewasa ini hanya dari lapisan masyarakat tertentu saja. Kalau melihat latar belakang musik tradisi sangat erat hubungannya dengan kehidupan masyarakat daerah, khususnya di Indonesia yang kaya akan budaya dan berbagai suku bangsanya. Hal ini tidak bisa disalahkan, karena musik sudah mewakili jati diri tiap individu. Dengan realita seperti ini, tentunya sebagai musisi yang produktif dan penikmat musik terus melahirkan ide-idedan gagasan baru. Hal ini tidak menyurutkan para seniman muda untuk berkreatif. Sesuatu yang baru dan segar selalu dihasilkan sebagai jalan keluar. Sedikit awam memang ketika masyarakat mendengar musik dengan bergenre Jazz Ethnik, jenis musik Jazz Ethnic ini lahir dari selera masyarakat terhadap musik tradisi yang sudah mulai meninggalkan dan terkikis untuk dipertahankan. Genre ini mengusung perpaduan antara musik jazz dan musik traditional. Dengan menggunakan permainan gitar, bass, keyboard dan drum diselingi dengan lantunan menarik dari alat musik gamelan merupakan hal yang segar. Perpaduan musik Pentatonis dan Diatonis ini bisa dijadikan sebagai jalan keluar agar musik tradisi bisa lebih diterima dan tetap eksis di lapisan masyarakat. Di STKW Surabaya sendiri, jenis musik ini mulai dimainkan sekitar tahun 1990 an hingga sekarang oleh mahasiswa jurusan seni musik (pada waktu itu) yang berkolaborasi dengan jurusan Seni Karawitan dan hingga sekarang para mahasiswa jurusan Seni Karawitan tetap mempertahankan perpaduan musik tersebut . Hal ini mendapat sambutan yang baik di setiap kali penampilan. Jazz Ethnik terus bertahan dan berkembang, di lihat dari adanya beberapa festival-festival musik yang diadakan serta mengusung genre ini, salah satunya yaitu Yamaha Mio Matic Fest yang merangkul sebagian besar musisi Jawa Timur dari jenis musik bergenre Jazz, Etnik, Pop maupun Rock. Merupakan suatu kebanggaan pula bahwa grup Jazz Etnik dari STKW Surabaya yang bernamakan JINGGO ETHNIC JAZZ meraih posisi sebagai Runner Up dari event Yamaha Mio Matic Fest. Selain itu pada event-event lain, grup yang memadukan suara dari gamelan Banyuwangi dan musik Jazz ini terus eksis dan berkembang. dengan mengusung Perpaduan musik Pentatonis dan Diatonis ini jenis musik akan semakin segar dengan harapan dapat diterima di tengah masyarakat masa kini, karena semakin minimnya kesadaran masyarakat akan melestarikan musik tradisi. (Bintari)
STKW Surabaya merupakan satu-satunya kampus seni di Jawa Timur yang menjaga dan melestarikan kesenian Jawa Timur dengan mengandalkan local genius.