Day: August 26, 2025

Wanita Anime: Jericho Riupassa, Penyandang Disabilitas yang Berkarya Tanpa Batas

Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya kembali membuktikan bahwa seni adalah ruang tanpa batas. Hal ini ditunjukkan oleh Jericho Riupassa, mahasiswa STKW penyandang disabilitas (tuna rungu dan tuna wicara) yang sukses menggelar pameran tunggal (solo exhibition) bertajuk “Wanita Anime”. Keterbatasan fisik tidak menghalangi Jericho untuk mengekspresikan gagasan dan imajinasinya melalui seni rupa digital. Dengan penuh semangat, ia menyajikan 12 karya lukis digital yang menampilkan karakter wanita dalam berbagai ekspresi, sifat, dan peran. Dalam karyanya, Jericho menggambarkan sosok wanita dengan beragam karakter: lembut, penyayang, penuh empati, namun juga kuat, ambisius, dan penuh semangat. Inspirasi ini dituangkan dalam gaya Anime Pop Art Modern, yang akrab dengan generasi muda masa kini. Menurut Jericho, karakter wanita begitu unik karena memiliki kekuatan dan kelemahan sekaligus, namun tetap menjadi pribadi yang ekspresif dan inspiratif. Melalui karya digitalnya, ia berusaha menyampaikan pesan bahwa wanita adalah sosok istimewa yang memancarkan keindahan, keteguhan, dan keberanian. Meski menghadapi keterbatasan dalam komunikasi verbal, Jericho membuktikan bahwa seni adalah bahasa universal. Dengan dukungan teknologi digital, ia bebas menyalurkan hobinya menggambar kapan pun dan di mana pun. Karyanya menjadi bukti nyata bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkarya. Justru, Jericho menunjukkan bahwa seni bisa menjadi medium yang menyatukan perbedaan, menginspirasi, dan membuka ruang dialog lintas batas.

Exilium: Tentang Rumah, Keterasingan, dan Kejujuran Emosional

Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya kembali menunjukkan kiprah mahasiswanya di dunia seni. Abdun Jayssyullah Akbar, mahasiswa STKW Surabaya, menghadirkan karya instalasi berjudul “Exilium”, sebuah karya yang mengangkat pengalaman visual dan emosional tentang rumah sebagai ruang paradoksal: tempat perlindungan sekaligus penjara batin. Bertolak dari pengalaman eksistensial tentang keterasingan, Exilium merepresentasikan kondisi manusia yang terusir dari kenyamanan simbolis sebuah “rumah”, meski secara fisik ia masih berdiri utuh. Menggunakan material bekas seperti seng, besi, dan potongan kayu, karya ini menyibak lapisan-lapisan kerusakan sebagai bentuk kejujuran emosional. Rangkaian benda usang tersebut tidak sekadar menampilkan ruang kumuh, tetapi juga menjadi metafora tentang luka, trauma, dan kenangan yang membentuk definisi rumah sesungguhnya. Bertolak dari pengalaman eksistensial tentang keterasingan, Exilium merepresentasikan kondisi manusia yang terusir dari kenyamanan simbolis sebuah “rumah”, meski secara fisik ia masih berdiri utuh. Menggunakan material bekas seperti seng, besi, dan potongan kayu, karya ini menyibak lapisan-lapisan kerusakan sebagai bentuk kejujuran emosional. Rangkaian benda usang tersebut tidak sekadar menampilkan ruang kumuh, tetapi juga menjadi metafora tentang luka, trauma, dan kenangan yang membentuk definisi rumah sesungguhnya.

Arsip Artikel