Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya kembali membuktikan bahwa seni adalah ruang tanpa batas. Hal ini ditunjukkan oleh Jericho Riupassa, mahasiswa STKW penyandang disabilitas (tuna rungu dan tuna wicara) yang sukses menggelar pameran tunggal (solo exhibition) bertajuk “Wanita Anime”. Keterbatasan fisik tidak menghalangi Jericho untuk mengekspresikan gagasan dan imajinasinya melalui seni rupa digital. Dengan penuh semangat, ia menyajikan 12 karya lukis digital yang menampilkan karakter wanita dalam berbagai ekspresi, sifat, dan peran. Dalam karyanya, Jericho menggambarkan sosok wanita dengan beragam karakter: lembut, penyayang, penuh empati, namun juga kuat, ambisius, dan penuh semangat. Inspirasi ini dituangkan dalam gaya Anime Pop Art Modern, yang akrab dengan generasi muda masa kini. Menurut Jericho, karakter wanita begitu unik karena memiliki kekuatan dan kelemahan sekaligus, namun tetap menjadi pribadi yang ekspresif dan inspiratif. Melalui karya digitalnya, ia berusaha menyampaikan pesan bahwa wanita adalah sosok istimewa yang memancarkan keindahan, keteguhan, dan keberanian. Meski menghadapi keterbatasan dalam komunikasi verbal, Jericho membuktikan bahwa seni adalah bahasa universal. Dengan dukungan teknologi digital, ia bebas menyalurkan hobinya menggambar kapan pun dan di mana pun. Karyanya menjadi bukti nyata bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkarya. Justru, Jericho menunjukkan bahwa seni bisa menjadi medium yang menyatukan perbedaan, menginspirasi, dan membuka ruang dialog lintas batas.
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya kembali menunjukkan kiprah mahasiswanya di dunia seni. Abdun Jayssyullah Akbar, mahasiswa STKW Surabaya, menghadirkan karya instalasi berjudul “Exilium”, sebuah karya yang mengangkat pengalaman visual dan emosional tentang rumah sebagai ruang paradoksal: tempat perlindungan sekaligus penjara batin. Bertolak dari pengalaman eksistensial tentang keterasingan, Exilium merepresentasikan kondisi manusia yang terusir dari kenyamanan simbolis sebuah “rumah”, meski secara fisik ia masih berdiri utuh. Menggunakan material bekas seperti seng, besi, dan potongan kayu, karya ini menyibak lapisan-lapisan kerusakan sebagai bentuk kejujuran emosional. Rangkaian benda usang tersebut tidak sekadar menampilkan ruang kumuh, tetapi juga menjadi metafora tentang luka, trauma, dan kenangan yang membentuk definisi rumah sesungguhnya. Bertolak dari pengalaman eksistensial tentang keterasingan, Exilium merepresentasikan kondisi manusia yang terusir dari kenyamanan simbolis sebuah “rumah”, meski secara fisik ia masih berdiri utuh. Menggunakan material bekas seperti seng, besi, dan potongan kayu, karya ini menyibak lapisan-lapisan kerusakan sebagai bentuk kejujuran emosional. Rangkaian benda usang tersebut tidak sekadar menampilkan ruang kumuh, tetapi juga menjadi metafora tentang luka, trauma, dan kenangan yang membentuk definisi rumah sesungguhnya.
suarasurabaya.net – Drs. Sigit Margono, M. Sn, seniman pembuat patung Suro dan Boyo di antaranya di depan Kebun Binantang Surabaya (KBS) yang menjadi ikon Kota Surabaya meninggal dunia pada usia 72 tahun di rumahnya, Selasa (12/7/2016) pukul 17.00 WIB. Jenazah seniman yang semasa hidupnya mengajar Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya ini, akan diberangkatkan dari rumahnya di Jalan Gajayana Nomor 107 A, Malang, Rabu (13/7/2016) pagi untuk dikebumikan di TPU Citrosoman Bejagung Jalan Hayam Wuruk, Tuban. Arif Rofik Kepala UPT Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) mengatakan, Sigir Margono, pria kelahiran 29 Oktober 1944 ini sudah menderita penyakit stroke selama setahun terakhir dan telah beberapa kali dirawat di rumah sakit. “Saat hari H Lebaran, Pak Sigit sedang dirawat di rumah sakit. Terus sudah agak enakan, beliau pulang ke rumah,” katanya kepada suarasurabaya.net, Rabu. Menurutnya, kondisi terakhir pembuat beberapa tetenger di Kota Pahlawan ini sudah susah bicara. “Beliau berkomunikasi hanya dengan isyarat mata dan kesadarannya menurun,” ujarnya.(iss/ipg) Editor: Iping Supingah (sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2016/173959-Sigit-Margono-Seniman-Pembuat-Patung-Suro-dan-Boyo-Meninggal)
Seni Murni Mendapat Akreditasi B Oleh : Tim Redaksi Buletin Bekerja lima tahun membenahi jurusan seni murni untuk mendapatka nakreditasi B sebenarnya terinspirasi sebuah pesan yang disampaikan almarhum Pak Handayadi ketika saya dicalonkan menjadi ketuajurusan seni murni, pesannya “ le tugas selanjutnya generasi kalian yang memperbaiki jurusan seni murni agar lebih baik dari sebelumnya”,. Sebuah amanah saat perbincangan dengan almarhum sebelum beliaunya meninggal dunia. Kemudian papan Jurusan saya tulis“ Kerja, kerja, dan kerja”,. Saat itu dengan dibantu sekretaris jurusan yang bekerja tanpa mengenal lelah dan sekretaris jurusan teater sebagai tenaga pengumpul data. Jurusan mulai menyusun strategi berdasarkan framework dari DIKTI. Maka disusunlah Tim Inti jurusan yang terdiri dari staf pengajar dengan konsultan, dan editor akreditasi pak Wahyudianto ( Waka I ), juga bekerja sama lintas jurusan yang melibatkan infrastruktur yang ada di STKW. Semua dilibatkan sebagai upaya untuk mendapatkan data yang diperlukan untuk keperluan akreditasi. Setelah Tim terbentuk jurusan mulai bekerja untuk mengumpulkan data kelebihan dan kekurangan. Tentu dengan konsultasi terlebih dahulu kepada Pak Wahyudianto (Waka I), yang telah berpengalaman menangani akreditasi. Tahap pertama, pengumpulan data kelebihan jurusan, mahasiswa dan beberapa staf pengajar sudah mewakili perhelatan seni rupa pada even-even nasional dan internasional didukung dengan sertifikat, dan kerjasama baik secara pribadi maupun institusi. Tahap kedua, para mahasiswa melalui Himajur selama lima tahun melakukan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat hal itu dibuktikan dengan dokumentasi dan surat-surat kerjasama institusi dan antar kampus. Tahap ketiga, melibatkan mahasiswa dalam penelitian bersama staf pengajar dibuktikan dengan hasil penelitian. Tahap kekurangan, berdasarkan acuan dari DIKTI ditemukan kekurangan dari penelitian, kerjasama luar negeri, dan staf pengajar dengan status S2, data bimbingan mahasiswa, kesehatan, dan umum. Untuk mengatasi hal tersebut jurusan mulai menerima staf pengajar S2 untuk mengis ikekurangan. Setelah data terkumpul kami mulai mengolah dan memasukan data berdasarkan pada tempat form masing-masing berdasarkan form akreditasi. Kemudian dipresentasikan ke pak Wahyudianto selaku konsultan dan editor, dari hasil presentasi dengan dibantu pak Wahyudianto semua form diedit dan dibahasakan menurut aturan yang ada di DIKTI. Berkat kerjasama dan saling membantu untuk kepentingan akreditasi, juga masukan daripara alumni, dan wawancara staf pengajar secara jujur kepada tim penguji DIKTI maka semuanya bisa berjalan dengan baik dengan nilai B.
Sketsa, merupakan bentuk karya seni tertua dan yang telah lama dikenal di dunia. Hadirnya sketsa muncul saat manusia purba mulai mengetahui bagaimana membuat sebuah coretan, atau tanda pada dinding gua. Coretan-coretan di zaman purba sering menggambarkan objek yang berbentuk seperti hewan, manusia, maupun tumbuhan, ada juga yang membentuk suatu simbol yang menjadi cikal bakal bentuk huruf. Konsep purba tersebut yang menjadi cikal bakal konsep ‘Sketsa on the spot’ atau membuat sketsa dengan melihat langsung objek maupun suasana yang ada di sekitar. Dalam dunia seni, sketsa memiliki 2 fungsi yakni sketsa sebagai bentuk seni dwimatra murni (seperti lukisan, grafis, dll) dan sketsa sebagai bentuk dasar dari sebuah rancangan bangun atau benda. Bagi seorang arsitek, disainer grafis, disainer interior, sketsa memiliki fungsi sebagai rancangan awal. Namun bagi seorang seniman, sketsa merupakan unsur dasar seni murni yang wajib dikuasai dan juga karya seni itu sendiri. Sketsa rancangan bersifat kaku, cenderung statis, dan minim kesalahan. Sedangkan sketsa murni bersifat luwes, beragam garisnya, dan lebih unik karena yang dapat mewakili karakter pembuatnya. Hal ini dapat terjadi karena sketsa murni lebih menekankan gambaran objek menurut versi dan gerakan dari kuas / lidi, dari sang seniman. “ Sketsa tak hanya sebagai rancangan dasar sebuah bentuk desain, namun sketsa juga dapat menjadi karya seni murni yang dapat berdiri sendiri ” seperti yang diungkapkan oleh Mufi Mubaroh – Ketua Prodi Seni Murni STKW Surabaya. Seringnya pembuatan sketsa murni menggunakan lidi atau pena cina, karena dapat pula melatih keluwesan tangan. Di kampus STKW, konsep mata kuliah sketsa yang digunakan adalah sketsa murni. Jadi setiap ada materi mata kuliah sketsa, para mahasiswa wajib terjun di lokasi yang telah ditentukan dan mulai membuat sketsa dari objek-objek atau suasana yang ada di lokasi tersebut. Ini menarik, karena letak kampus STKW yang berada di kota besar dan menggunakan materi sketsa on the spot di lokasi dalam kota membuat warga sekitar lokasi on the spot bertanya-tanya apa yang sedang mahasiswa lakukan . Beda dengan kota seni Jogja, kegiatan berkesenian di Surabaya tidak sebegitu sering muncul di khalayak umum. Hanya di kalangan-kalangan yang memang menaruh minat utama pada kesenian. Disinilah peran lain mahasiswa dijalankan, memberikan suntikan pengetahuan mengenai seni, dalam hal ini pengetahuan mengenai sketsa. Sketsa On the Spot lebih menunjukkan spontanitas, dan ekspresi setiap pembuatnya. Ada yang mirip dengan objek sebenarnya, namun tak jarang juga yang menambahkan sentuhan – sentuhan artistik yang jauh dari bentuk aslinya. Beragam, dan berbeda-beda, ciri khas antara satu dengan yang lain. Dalam prakteknya, mungkin teori filsuf Plato yang lebih sering digunakan. Yakni pembuatan karya seni yang meniru objek sesungguhnya. Namun, bukan kemiripan bentuk yang menjadi tujuan utama dari sketsa murni, tapi karakter sang seniman yang ikut masuk dalam goresan sketsanya. Itulah nilai sebenarnya yang terkandung dalam sketsa murni. Di jurusan Seni Murni STKW, ada 25 lembar sketsa dari sekitar 10 – 12 lokasi (spot) yang berbeda yang harus dikumpulkan setiap mahasiswa. Alat yang digunakan adalah lidi dan tinta hitam (tinta cina) dan teknik yang digunakan pada semester pertama adalah bebas, semester berikutnya dilanjutkan dengan teknik tertentu pada setiap lokasi. Pada awalnya, para mahasiswa prodi seni murni pasti merasa kebingungan dengan pembuatan sketsa menggunakan lidi. Masih kaku, sangat berhati-hati dalam menggores adalah kesan pertama yang dirasakan mahasiswa baru saat membuat sketsa. Semakin lama, akan semakin banyak jam terbang yang dikumpulkan, keluwesan akan diraih dan bahkan sampai ketagihan lagi dan lagi membuat sketsa. Hingga tak sadar sketsa yang dibuat telah layak untuk dipamerkan di sebuah acara pameran seni rupa murni. Proses adalah hal terpenting daripada hasil akhir, hal itu juga terjadi dalam penyaluran karakter dan maksud seniman sketsa kedalam sketsa yang mereka buat. Di STKW, untuk mengapresiasi proses latihan yang panjang dan konsisten ini, selalu diadakan sebuah acara pameran Seni Rupa Murni. Mulai dari hasil karya seni yang dasar hingga karya seni murni eksperimental, termasuk sketsa. Agus ‘Koecink’ Sukamto, seniman sekaligus kurator asal Surabaya menjelaskan bahwa, untuk membuat sketsa yang berkarakter diperlukan pendekatan dan latihan terus-menerus agar tak hanya melihat namun juga dapat merasakan objek yang akan dibuat dan dituangkan ke dalam sketsa. Tak hanya karakter sang seniman, namun juga ada kesan yang hadir dalam sketsa tersebut. Pengetahuan seni murni tanpa sketsa merupakan seni murni yang kurang lengkap. Berawal dari ‘meniru’ dan menjelma menjadi karya seni murni utuh yang kaya akan nilai. Dari unsur dasar jadi bentuk karya seni itu sendiri. Seniman-seniman sketsa pun telah menjamur di seluruh dunia yang berawal dari on the spot, semoga ke depannya STKW mampu melahirkan seniman sketsa besar, yang khusus menekuni dan berkarya di bidang sketsa. (Rahmawati)
ALUMNI YANG BERHASIL DI BIDANG USAHA PATUNG DAN KERAJINAN Upaya mengangkat kebudayaan lokal menjadi global Alumni Seni Rupa STKW ini merupakan salah satu sosok yang berhasil di dunia bisnis, khususnya yang terkait di bidangnya yaitu Seni Rupa. Jamran, sosok satu ini memulai kiprahnya ketika memasuki bangku perkuliahan di jurusan Seni Rupa STKW di tahun 1988. Dengan berlikunya dalam proses perkuliahan yang sampai dia tempuh kurang lebih 20 tahun, Jamran memulai kariernya ketika semasa kuliah, dengan berbekal hasil materi kuliah dia berhasil memulai sepak terjangnya dalam dunia patung, khususnya dalam proses pembuatan patung monumental dan kerajinan-kerajinan yang dia buat. Karya –karya monumental Jamran sudah ada di mana-mana, mulai dari ikut orang sampai dapat order sendiri sudah didapati oleh Jamran seperti monumen Tanjung Perak setinggi 17 meter terletak di depan pintu masuk Tol Tanjung Perak di Surabaya, monumen pahlawan di taman-taman perumahan Pondok Candra – Waru – Sidoarjo, patung karapan sapi di pelabuhan Kamal Madura, Patung Keluarga Berencana di Perbatasan Surabaya-Gresik, Monumen Putri Songgolangit di Kediri juga di Ponorogo, belasan patung singa yang berjejer di alun-alun, perempatan jalan dan di halaman kantor bupati di Ponorogo, serta yang terakhir, Jamran membuat monumental patung singa di Taman Trunojoyo Malang Dengan proses itulah secara tidak langsung bisa menampakkan diri menjadi seorang pematung di Jawa Timur. Kiprah Jamran selain sebagai seorang desainer dan pematung, dia juga mempunyai usaha kerajinan, khususnya kerajinan patung. banyak souvenir-souevenir yang dia buat lebih banyak bernuansa budaya tradisional walaupun juga tidak menutup kemungkinan souvenir-souvenir yang sedikit modern. Miniatur reog ponorogo, kapal selam, patung Bung Karno, karapan sapi dan sebagainya. Sempat juga membuat patung Iron Man dengan ukuran yang besar. Hal itu juga membuat Jamran selalu meningkatkan produktivitasnya untuk selalu berkarya. Disisi lain sang istri Ida Sulistyawati juga mendukung karier suaminya, Ida yang seorang guru kesenian di kota Kediri sepenuhnya mendukung profesi yang dikembangkan oleh sang suami. Dalam karier organisasi Jamran menjadi Ketua Dewan Kesenian Kota Kediri, juga ketua Asosiasi Handycraft Jawa Timur. Dengan mengalirnya waktu Jamran terus menapakkan diri dengan membuat studio “LUKU BINTANG” sebagai usaha kerajinan patung dan souvenir, produk kerajinan yang dihasilkan semacam cinderamata, plakat, piala dengan bahan fiberglass, logam serta patung dan monument. (taufiq)
Pemerintah Perancis kembali memberikan beasiswa residensi ketiga pada tahun 2014 selama satu bulan satu minggu kepada dosen STKW jurusan Seni Rupa, Agus Koecink selama residensi di museum mendapat tugas bekerja dan berkarya untuk mendesain ruang koleksi Asia juga memberikan workshop menggambar wayang kulit, dan membatik pada anak-anak sekolah dasar, mahasiswa dan ibu-ibu. Tentu sangatlah senang karena dipercaya untuk mendesain ruang koleksi etnografi Asia. Pengalaman yang didapat antara lain kerja kuratorial di museum, riset tentang etnografi, dan pertukaran ide-ide kreatif dalam diskusi-diskusi. Yuk, yang ingin melakukan residensi keluar negeri persiapan diri kalian khususnya para mahasiswa yaitu persiapan bahasa asing, dan pengetahuan tentang budaya Indonesia agar bias terjadi pertukaran ide-ide dalam penciptaan karya yang bersifat kolaborasi.
Alumni STKW Gelar Karya Mix Trinical Sensibility di HoS 17 December 2014 | Umar Alif | Surabaya Pameran mix dari tiga seniman, yaitu Asmuliawan “Bogel”, Mohamad Arifin “Londo”, dan Sovi Soviani Manao, digelar di Galeri Seni House of Sampoerna (HoS). Sebanyak 39 karya mix bertemakan Trinical Sensibility tersebut dipamerkan mulai 19 Desember 2014–11 Januari 2015. Ketiga seniman alumni STKW ini, mencoba menuangkan Cinta yang memiliki berbagai definisi dan sifat serta keragaman dan kepekaan dalam meresponnya. Pada karya “Laurent”, Bogel bercerita tentang bagaimana seorang perempuan mencintai dirinya dengan berusaha untuk selalu tampil menarik dan cantik. Karya-karya Bogel memperlihatkan bentuk dengan kontur halus dan sempurna walau dengan deformasi bentuk sebagai ciri khasnya. Sementara Arifin ‘Londo’ menuangkan imaginya dalam bentuk karya dengan gaya lebih keras dan kaku untuk menggambarkan emosi yang juga terkandung dalam sebuah hubungan percintaan seperti yang terlihat pada karya “Berdua Saja” yang menggambarkan romantisme sepasang kekasih. Sedangkan karya ‘Mochin’ yang berjudul “Special Moment” mengembalikan memori indah akan masa lalu yang merupakan kenangan pribadi sang seniman. Asmuliawan, yang akrab disapa ‘Bogel’, adalah seniman patung kelahiran Batu-Batu Sopeng, Sulawesi Selatan. Lulusan Seni Rupa STKW tahun 2007 ini pernah mengikuti beberapa pameran bersama seperti Biennale II dan IV, pameran ‘Underdoc’ di Hanna Art Space, Bali, dan pameran “New Age” di Raos Gallery, Batu Malang. Begitupula dengan Arifin ‘Londo’, pria kelahiran Surabaya ini juga telah beberapa kali berpameran tunggal maupun bersama baik di Surabaya, Lamongan, Malang dan Bali. Sedangkan bagi perempuan kelahiran Nias Soviani Manao ‘Mochin’, juga tidak kalah aktif dengan kedua teman kolaborasinya dalam mengisi pameran bersama baik di Surabaya, Batu, Malang hingga Padang. “Kami harap kolaborasi pertama dalam pameran ini dapat memberikan wawasan seni rupa khususnya seni patung instalasi serta keramik terhadap masyarakat luas,” kata Asmuliawan, Rabu (17/12/2014). Sedang untuk Bogel, seni menurutnya menggambarkan keindahan humanitas dan realitas dengan memperhatikan rasa maupun kepekaan bagi sang seniman meskipun kadang-kadang perhatian seniman bisa jadi berbeda. “Melalui pameran ini, kami berharap dapat mengukur hasil karya yang telah dicapai kepada masyarakat guna mendapat kritik dan saran membangun untuk meraih pengetahuan tentang kesenian yang lebih baik”, ujar Asmuliawan. Arifin ‘Londo’ serta Mochin berharap pameran kolaborasi ini dapat menjadi pijakan pribadi untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih baik. “Pameran ini menjadi ajang bagi kami untuk memperkenalkan diri ke dunia seni rupa sekaligus mengapresiasi seni patung instalasi serta keramik”, ujar Arifin. (wh)
STKW Surabaya merupakan satu-satunya kampus seni di Jawa Timur yang menjaga dan melestarikan kesenian Jawa Timur dengan mengandalkan local genius.