Day: August 14, 2025

PRATIGHA DHARMAPATNI: Ketika Dendam Bertemu Kesadaran

Di balik setiap gerakan tari, ada prahara yang bergemuruh dalam jiwa. Malam itu, tarian bukan hanya sekadar estetika, melainkan sebuah pertunjukan drama batin yang memilukan. Tarian itu bernama “PRATIGHA DHARMAPATNI”, sebuah mahakarya yang lahir dari hati seorang mahasiswa, Marcella Lidya Cyntia Dewi Kusdiarto. Marcella tidak hanya menari, ia menceritakan sebuah tragedi. Kisah ini berawal dari kehidupan istana yang megah, yang seketika berubah menjadi lautan kekecewaan bagi seorang Ratu bernama Mahendradatta. Difitnah, disingkirkan, dan dijauhkan dari kekuasaan, Mahendradatta mengadu kepada Dewi Durga, memohon kekuatan untuk menebar kutukan sebagai balas dendam. Melalui gerak tari yang penuh ketegangan, Marcella merepresentasikan pergolakan batin ini. Tarian ini adalah sebuah pertarungan, bukan hanya di atas panggung, tetapi juga di dalam jiwa. Namun, di tengah amarah yang membara, lahirlah kesadaran. “Bahwa dendam tak pernah membawa keadilan, hanya memperpanjang penderitaan.”   “PRATIGHA DHARMAPATNI” adalah sebuah cermin, yang mengajak kita merenungkan tentang konsekuensi dari perasaan yang tidak tersalurkan dan kekuatan dari dendam yang membara. Karya ini adalah bukti nyata komitmen kami di STKW Surabaya. Kami adalah wadah bagi para seniman untuk tidak hanya menguasai teknik, tetapi juga untuk meresapi cerita-cerita yang mendalam dan mengangkatnya menjadi karya yang relevan. Kami mengajarkan bahwa seni adalah cara terkuat untuk berbicara, untuk menunjukkan realitas, dan untuk memberikan pesan moral yang kuat kepada penonton.

NUNJANG PALANG: Saat Cinta dan Dendam Bersemi di Atas Panggung

Di balik setiap gerakan tari, ada prahara yang bergemuruh dalam jiwa. Malam itu, di panggung tarian bukan hanya sekadar estetika, melainkan sebuah pertunjukan drama batin yang memilukan. Tarian itu bernama “NUNJANG PALANG”, sebuah mahakarya yang lahir dari hati seorang mahasiswa, Dwi Wahyu Bagas Saputra. Dwi Wahyu tidak hanya menari, ia menceritakan sebuah konflik abadi: cinta yang begitu besar namun tak dapat diwujudkan. Kisah ini berawal dari rasa kasih dan sayang yang mendalam, yang kemudian berubah menjadi pengorbanan jati diri. Dwi Wahyu, melalui “NUNJANG PALANG”, menunjukkan kepada kita bagaimana cinta yang terpendam dapat menjadi awal dari dendam dan amarah yang membara. Melalui gerak tari yang penuh ketegangan, ia merepresentasikan pergolakan batin ini. Tarian ini adalah sebuah pertarungan, bukan hanya di atas panggung, tetapi juga di dalam jiwa. “NUNJANG PALANG” bukan sekadar pertunjukan tari; ini adalah sebuah cermin, yang mengajak kita merenungkan tentang konsekuensi dari perasaan yang tidak tersalurkan dan kekuatan dari dendam yang membara. Karya ini adalah bukti nyata komitmen kami di STKW Surabaya. Kami adalah wadah bagi para seniman untuk tidak hanya menguasai teknik, tetapi juga untuk meresapi cerita-cerita yang mendalam dan mengangkatnya menjadi karya yang relevan. Kami mengajarkan bahwa seni adalah cara terkuat untuk berbicara, untuk menunjukkan realitas, dan untuk memberikan pesan moral yang kuat kepada penonton.  

NJARAN: Saat Gerakan Kuda Lincah Mengajarkan Kerja Keras

Di balik setiap hentakan kaki, ada semangat yang tak pernah padam. Di atas panggung sebuah tarian bukan hanya sekadar estetika, melainkan sebuah pengingat akan nilai-nilai kehidupan yang fundamental. Tarian itu bernama “NJARAN”, sebuah mahakarya yang lahir dari visi seorang mahasiswa Zarqun Aura Arinda. Zarqun tidak hanya menari, ia menyuarakan. Terinspirasi dari Kesenian Jaranan Sentherewe Tulungagung, ia merangkai gerakan-gerakan lincah seekor kuda menjadi sebuah metafora yang kuat tentang “kerja keras”. Dalam tarian ini, setiap gerakan koreografi yang kuat dan gesit mengingatkan kita bahwa dalam perjalanan hidup, kita harus memiliki niat yang kokoh dan usaha yang gigih untuk mencapai tujuan.   “NJARAN” adalah bukti nyata komitmen kami di STKW Surabaya. Kami adalah wadah bagi para seniman untuk tidak hanya menguasai teknik, tetapi juga untuk meresapi nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat dan mengangkatnya menjadi karya yang relevan. Zarqun menunjukkan kepada kita bahwa seni adalah cara terkuat untuk menyampaikan pesan moral, untuk menanamkan semangat pantang menyerah kepada penonton melalui keindahan gerak.

MITHULUNG: Saat Jiwa Penolong Dipermainkan Takdir

Di dalam setiap langkah tari, ada kisah tentang keberanian dan pengkhianatan. Malam itu, tarian bukan hanya sekadar gerakan, melainkan sebuah pertunjukan drama kehidupan yang tragis dan menyentuh. Kisah itu bernama “MITHULUNG”, sebuah mahakarya dari seorang mahasiswa, Moh. Jaenal Arifin. Jaenal tidak hanya menari, ia menghidupkan kembali sebuah dilema. Dilema seorang pendekar sakti yang memiliki kebiasaan mulia: suka menolong sesama. Namun, niat suci itu justru menjadi bumerang. Kebiasaan baiknya dipermainkan dan disalahgunakan oleh orang-orang tak bertanggung jawab, hingga akhirnya ia terperangkap dan menjadi kambing hitam—mengorbankan perjalanan hidupnya sendiri. Melalui gerak tari yang gagah namun penuh emosi, Jaenal merepresentasikan konflik batin yang dalam ini. Ia menunjukkan kepada kita bahwa kebaikan pun bisa menjadi pedang bermata dua jika tidak diiringi dengan kewaspadaan. “MITHULUNG” bukan sekadar pertunjukan tari; ini adalah sebuah cermin, yang mengajak kita merenungkan tentang nilai-nilai heroik, keteguhan hati, dan juga konsekuensi dari tindakan kita.   Karya ini adalah bukti nyata komitmen kami di STKW Surabaya. Kami adalah wadah bagi para seniman untuk tidak hanya menguasai teknik, tetapi juga untuk meresapi cerita-cerita yang mendalam dan mengangkatnya menjadi karya yang relevan. Kami mengajarkan bahwa seni adalah cara terkuat untuk berbicara, untuk menunjukkan realitas, dan untuk memberikan pesan moral yang kuat kepada penonton.

KETAN INTIP: Menganyam Kembali Kenangan dan Warisan Juru Masak

Di dalam setiap hidangan, ada kisah. Di dalam setiap gerakan tari, ada jiwa yang berbicara. Sebuah kisah sederhana namun sarat makna dihidupkan kembali melalui tarian. Kisah itu bernama “KETAN INTIP”, sebuah mahakarya yang lahir dari hati seorang mahasiswa, Alfenia Septiani Widyana. Alfenia tidak hanya menari, ia bercerita. Ia membawa kita kembali ke Kampung Dinoyo Surabaya, menemui sosok Mbah Tami, seorang juru masak yang mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan tradisi Ketan Intip. Namun, di balik semangat Mbah Tami, ada kegelisahan. Kegelisahan akan tradisi yang terancam punah, ibarat tali yang disimpul mati, perjuangan yang berakhir karena tidak ada lagi generasi yang mewarisi. Melalui gerak tari yang penuh makna, Alfenia merepresentasikan beban tanggung jawab ini. Gerakan-gerakan yang lembut namun kuat, menganyam kembali kenangan dan harapan Mbah Tami. “KETAN INTIP” bukan sekadar pertunjukan tari; ini adalah sebuah permohonan, sebuah janji, dan sebuah pengingat bahwa warisan budaya adalah tanggung jawab kita bersama. Karya ini adalah bukti nyata komitmen kami di STKW Surabaya. Kami adalah wadah bagi para seniman untuk tidak hanya menguasai teknik, tetapi juga untuk meresapi nilai-nilai budaya dan mengangkatnya menjadi karya yang relevan. Kami mengajarkan bahwa seni adalah cara terkuat untuk bercerita, untuk menjaga ingatan tetap hidup, dan untuk memberikan suara kepada mereka yang khawatir warisannya akan terlupakan.

Arsip Artikel